Rabu, 09 November 2011

TANAMAN TRANSGENIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Transgenik
Transgenik adalah tanaman yang telah direkayasa bentuk maupun kualitasnya melalui penyisipan gen atau DNA binatang, bakteri, mikroba, atau virus untuk tujuan tertentu
Organisme transgenik adalah organisme yang mendapatkan pindahan gen dari organisme lain. Gen yang ditransfer dapat berasal dari jenis (spesies) lain seperti bakteri, virus, hewan, atau tanaman lain.
Secara ontologi tanaman transgenik adalah suatu produk rekayasa genetika melalui transformasi gen dari makhluk hidup lain ke dalam tanaman yang tujuannya untuk menghasilkan tanaman baru yang memiliki sifat unggul yang lebih baik dari tanaman sebelumnya.
Secara epistemologi, proses pembuatan tanaman transgenik sebelum dilepas ke masyarakat telah melalui hasil penelitian yang panjang, studi kelayakan dan uji lapangan dengan pengawasan yang ketat, termasuk melalui analisis dampak lingkungan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Secara aksiologi: berdasarkan pendapat kelompok masyarakat yang pro dan kontra tanaman transgenik memiliki manfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk, tetapi manfaat tersebut belum teruji, apakah lebih besar manfaatnya atau kerugiannya.
Bagaimana tanaman transgenik dibuat?
Gen yang telah diidentikfikasi diisolasi dan kemudian dimasukkan ke dalam sel tanaman. Melalui suatu sistem tertentu, sel tanaman yang membawa gen tersebut dapat dipisahkan dari sel tanaman yang tidak membawa gen. Tanaman pembawa gen ini kemudian ditumbuhkan secara normal. Tanaman inilah yang disebut sebagai tanaman transgenik karena ada gen asing yang telah dipindahkan dari makhluk hidup lain ke tanaman tersebut (Muladno, 2002).
Tanaman transgenik merupakan hasil rekayasa gen dengan cara disisipi satu atau sejumlah gen. Gen yang dimasukkan itu - disebut transgene - bisa diisolasi dari tanaman tidak sekerabat atau spesies yang lain sama sekali.
Transgenik per definisi adalah the use of gene manipulation to permanently modify the cell or germ cells of organism (BPPT,2000). Karena berisi transgene tadi, tanaman itu disebut genetically modified crops (GM crops). Atau, organisme yang mengalami rekayasa genetika (genetically modified organisms, GMOs).
Transgene umumnya diambil dari organisme yang memiliki sifat unggul tertentu. Misal, pada proses membuat jagung Bt tahan hama, pakar bioteknologi memanfaatkan gen bakteri tanah Bacillus thuringiensis (Bt) penghasil racun yang mematikan bagi hama tertentu. Gen Bt ini disisipkan ke rangkaian gen tanaman jagung. Sehingga tanaman resipien (jagung) juga mewarisi sifat toksis bagi hama. Ulat atau hama penggerek jagung Bt akan mati (Intisari, 2003).
1.2. Proses Transgenik
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang plasmid (lihat Bab XI). Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah transformasi dilakukan, yaitu (1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal, (2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan (3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Penjelasan lebih rinci tentang teknik PCR dapat dilihat pada Bab XII. Pelacakan fragmen yang diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi koloni (lihat Bab X). Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan dengan posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa menentukan koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
Susunan materil genetic diubah dengan jalan menyisipkan gen baru yang unggul ke dalam kromosomnya.Tanaman transgenik memiliki kualitas lebih dibanding tanaman konvensional, kandungan nutrisi lebih tinggi, tahan hama, tahan cuaca, umur pendek, dll; sehingga penanaman komoditas tersebut dapat memenuhi kebutuhan pangan secara cepat dan menghemat devisa akibat penghematan pemakaian pestisida atau bahan kimia lain serta tanaman transgenik produksi lebih baik
Teknik rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman; yaitu memperbaiki sifat-sifat tanaman dengan menambah sifat-sifat ketahanan terhadap cekaman hama maupun lingkungan yang kurang menguntungkan; sehingga tanaman transgenik memiliki kualitas lebih baik dari tanaman konvensional, serta bukan hal baru karena sudah lama dilakukan tetapi tidak disadari oleh masyarakat;
1.3 Tujuan Transgenik
Tujuan memindahkan gen tersebut untuk mendapatkan organisme baru yang memiliki sifat lebih baik. Hasilnya saat ini sudah banyak jenis tanaman transgenik, misalnya jagung, kentang, kacang, kedelai, dan kapas. Keunggulan dari tanaman transgenic tersebut umumnya adalah tahan terhadap serangan hama.
Rekayasa genetika seperti dalam pembuatan transgenik dilakukan untuk kesejahteraan manusia. Akan tetapi, terkadang muncul dampak yang tidak diinginkan, yaitu dampak negatif dan positifnya sebagai berikiut.


BAB III
APLIKASI TRANSGENIK

2.1.Pemanfaatan Organisme Transgenik dan Produk yang Dihasilkannya
Teknologi DNA rekombinan atau rekayasa genetika telah melahirkan revolusi baru dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang dikenal sebagai revolusi gen. Produk teknologi tersebut berupa organisme transgenik atau organisme hasil modifikasi genetik (OHMG), yang dalam bahasa Inggris disebut dengan genetically modified organism (GMO). Namun, sering kali pula aplikasi teknologi DNA rekombinan bukan berupa pemanfaatan langsung organisme transgeniknya, melainkan produk yang dihasilkan oleh organisme transgenik.
Dewasa ini cukup banyak organisme transgenik atau pun produknya yang dikenal oleh kalangan masyarakat luas. Beberapa di antaranya bahkan telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh pemanfaatan organisme transgenik dan produk yang dihasilkannya dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

1. Pertanian
Aplikasi teknologi DNA rekombinan di bidang pertanian berkembang pesat dengan dimungkinkannya transfer gen asing ke dalam tanaman dengan bantuan bakteri Agrobacterium tumefaciens (lihat Bab XI). Melalui cara ini telah berhasil diperoleh sejumlah tanaman transgenik seperti tomat dan tembakau dengan sifat-sifat yang diinginkan, misalnya perlambatan kematangan buah dan resistensi terhadap hama dan penyakit tertentu.
Pada tahun 1996 luas areal untuk tanaman transgenik di seluruh dunia telah mencapai 1,7 ha, dan tiga tahun kemudian meningkat menjadi hampir 40 juta ha. Negara- negara yang melakukan penanaman tersebut antara lain Amerika Serikat (28,7 juta ha), Argentina (6,7 juta ha), Kanada (4 juta ha), Cina (0,3 juta ha), Australia (0,1 juta ha), dan Afrika Selatan (0,1 juta ha). Indonesia sendiri pada tahun 1999 telah mengimpor produk pertanian tanaman pangan transgenik berupa kedelai sebanyak 1,09 juta ton, bungkil kedelai 780.000 ton, dan jagung 687.000 ton. Pengembangan tanaman transgenik di Indonesia meliputi jagung (Jawa Tengah), kapas (Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan), kedelai, kentang, dan padi (Jawa Tengah). Sementara itu, tanaman transgenik lainnya yang masih dalam tahap penelitian di Indonesia adalah kacang tanah, kakao, tebu, tembakau, dan ubi jalar.
Di bidang peternakan hampir seluruh faktor produksi telah tersentuh oleh teknologi DNA rekombinan, misalnya penurunan morbiditas penyakit ternak serta perbaikan kualitas pakan dan bibit. Vaksin-vaksin untuk penyakit mulut dan kuku pada sapi, rabies pada anjing, blue tongue pada domba, white-diarrhea pada babi, dan fish-fibrosis pada ikan telah diproduksi menggunakan teknologi DNA rekombinan. Di samping itu, juga telah dihasilkan hormon pertumbuhan untuk sapi (recombinant bovine somatotropine atau rBST), babi (recombinant porcine somatotropine atau rPST), dan ayam (chicken growth hormone). Penemuan ternak transgenik yang paling menggegerkan dunia adalah ketika keberhasilan kloning domba Dolly diumumkan pada tanggal 23 Februari 1997.
Pada dasarnya rekayasa genetika di bidang pertanian bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan suatu negara dengan cara meningkatkan produksi, kualitas, dan upaya penanganan pascapanen serta prosesing hasil pertanian. Peningkatkan produksi pangan melalui revolusi gen ini ternyata memperlihatkan hasil yang jauh melampaui produksi pangan yang dicapai dalam era revolusi hijau. Di samping itu, kualitas gizi serta daya simpan produk pertanian juga dapat ditingkatkan sehingga secara ekonomi memberikan keuntungan yang cukup nyata. Adapun dampak positif yang sebenarnya diharapkan akan menyertai penemuan produk pangan hasil rekayasa genetika adalah terciptanya keanekaragaman hayati yang lebih tinggi.

2. Perkebunan, kehutanan, dan florikultur
Perkebunan kelapa sawit transgenik dengan minyak sawit yang kadar karotennya lebih tinggi saat ini mulai dirintis pengembangannya. Begitu pula, telah dikembangkan perkebunan karet transgenik dengan kadar protein lateks yang lebih tinggi dan perkebunan kapas transgenik yang mampu menghasilkan serat kapas berwarna yang lebih kuat.

Di bidang kehutanan telah dikembangkan tanaman jati transgenik, yang memiliki struktur kayu lebih baik. Sementara itu, di bidang florikultur antara lain telah diperoleh tanaman anggrek transgenik dengan masa kesegaran bunga yang lama. Demikian pula, telah dapat dihasilkan beberapa jenis tanaman bunga transgenik lainnya dengan warna bunga yang diinginkan dan masa kesegaran bunga yang lebih panjang.

3. Kesehatan
Di bidang kesehatan, rekayasa genetika terbukti mampu menghasilkan berbagai jenis obat dengan kualitas yang lebih baik sehingga memberikan harapan dalam upaya penyembuhan sejumlah penyakit di masa mendatang. Bahan-bahan untuk mendiagnosis berbagai macam penyakit dengan lebih akurat juga telah dapat dihasilkan.
Teknik rekayasa genetika memungkinkan diperolehnya berbagai produk industri farmasi penting seperti insulin, interferon, dan beberapa hormon pertumbuhan dengan cara yang lebih efisien. Hal ini karena gen yang bertanggung jawab atas sintesis produk-produk tersebut diklon ke dalam sel inang bakteri tertentu yang sangat cepat pertumbuhannya dan hanya memerlukan cara kultivasi biasa.

4. Lingkungan
Rekayasa genetika ternyata sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati, bahkan dalam bioremidiasi lingkungan yang sudah terlanjur rusak. Dewasa ini berbagai strain bakteri yang dapat digunakan untuk membersihkan lingkungan dari bermacam-macam faktor pencemaran telah ditemukan dan diproduksi dalam skala industri. Sebagai contoh, sejumlah pantai di salah satu negara industri dilaporkan telah tercemari oleh metilmerkuri yang bersifat racun keras baik bagi hewan maupun manusia meskipun dalam konsentrasi yang kecil sekali. Detoksifikasi logam air raksa (merkuri) organik ini dilakukan menggunakan tanaman Arabidopsis thaliana transgenik yang membawa gen bakteri tertentu yang dapat menghasilkan produk untuk mendetoksifikasi air raksa organik.
5. Industri
Pada industri pengolahan pangan, misalnya pada pembuatan keju, enzim renet yang digunakan juga merupakan produk organisme transgenik. Hampir 40% keju keras (hard cheese) yang diproduksi di Amerika Serikat menggunakan enzim yang berasal dari organisme transgenik. Demikian pula, bahan-bahan food additive seperti penambah cita rasa makanan, pengawet makanan, pewarna pangan, pengental pangan, dan sebagainya saat ini banyak menggunakan produk organisme transgenik



BAB III
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF REKAYASA GENETIK TRANSGENIK

3.1.Dampak Positif Transgenik
Rekayasa transgenik dapat menghasilkan prodik lebih banyak dari sumber yang lebih sedikit.
Rekayasa tanaman dapat hidup dalam kondisi lingkungan ekstrem akan memperluas daerah pertanian dan mengurangi bahaya kelaparan.
Makanan dapat direkayasa supaya lebih lezat dan menyehatkan.

3.2. Dampak Negatif Transgenik
Adapun dampak negatif dari rekayasa transgenik meliputi beberapa aspek yaitu:
Aspek sosial
Yang meliputi:
1. Aspek agama
Penggunaan gen yang berasal dari babi untuk memproduksi bahan makanan dengan sendirinya akan menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemeluk agama Islam. Demikian pula, penggunaan gen dari hewan dalam rangka meningkatkan produksi bahan makanan akan menimbulkan kekhawatiran bagi kaum vegetarian, yang mempunyai keyakinan tidak boleh mengonsumsi produk hewani. Sementara itu, kloning manusia, baik parsial (hanya organ-organ tertentu) maupun seutuhnya, apabila telah berhasil menjadi kenyataan akan mengundang kontroversi, baik dari segi agama maupun nilai-nilai moral kemanusiaan universal. Demikian juga, xenotransplantasi (transplantasi organ hewan ke tubuh manusia) serta kloning stem cell dari embrio manusia untuk kepentingan medis juga dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap norma agama.

2. Aspek etika dan estetika
Penggunaan bakteri E coli sebagai sel inang bagi gen tertentu yang akan diekspresikan produknya dalam skala industri, misalnya industri pangan, akan terasa menjijikkan bagi sebagian masyarakat yang hendak mengonsumsi pangan tersebut. Hal ini karena E coli merupakan bakteri yang secara alami menghuni kolon manusia sehingga pada umumnya diisolasi dari tinja manusia.
Aspek ekonomi
Berbagai komoditas pertanian hasil rekayasa genetika telah memberikan ancaman persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional. Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan derajad kemanisan jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang menggunakan bahan alami. Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari tanaman rapeseeds transgenik dapat berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan produksi dari kelapa atau kelapa sawit sehingga mengancam eksistensi industri minyak goreng konvensional. Di bidang peternakan, enzim yang dihasilkan oleh organisme transgenik dapat memberikan kandungan protein hewani yang lebih tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam keberadaan pabrik-pabrik tepung ikan, tepung daging, dan tepung tulang.

Aspek kesehatan
1. Potensi toksisitas bahan pangan
Dengan terjadinya transfer genetik di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul bahan kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan pangan. Sebagai contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak pernah berlangsung secara alami, berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang semula tidak pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional. Di antara kedelai transgenik, misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus reaksi alergi yang serius. Begitu pula, pernah ditemukan kontaminan toksik dari bakteri transgenik yang digunakan untuk menghasilkan pelengkap makanan (food supplement) triptofan. Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan terkait dengan akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya genetik lainnya di dalam pangan manusia.

Beberapa organisme transgenik telah ditarik dari peredaran karena terjadinya peningkatan kadar bahan toksik. Kentang Lenape (Amerika Serikat dan Kanada) dan kentang Magnum Bonum (Swedia) diketahui mempunyai kadar glikoalkaloid yang tinggi di dalam umbinya. Demikian pula, tanaman seleri transgenik (Amerika Serikat) yang resisten terhadap serangga ternyata memiliki kadar psoralen, suatu karsinogen, yang tinggi.

2. Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan
WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia baru, baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya, berpotensi menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi penyakit lain. Sebagai contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik dapat berpindah ke bakteri penyebab kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae. Akibatnya, bakteri ini menjadi kebal terhadap antibiotik streptomisin dan spektinomisin. Padahal, selama ini hanya dua macam antibiotik itulah yang dapat mematikan bakteri tersebut. Oleh karena itu, penyakit GO dikhawatirkan tidak dapat diobati lagi dengan adanya kapas transgenik. Dianjurkan pada wanita penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari bahan kapas transgenik.
Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui menghasilkan lateks dengan kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam pembuatan sarung tangan dan kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik. Namun, di Amerika Serikat pada tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita alergi akibat pemakaian sarung tangan dan kondom dari bahan karet transgenik.
Selain pada manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan penyakit pada hewan. A. Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa tikus percobaan yang diberi pakan kentang transgenik memperlihatkan gejala kekerdilan dan imunodepresi. Fenomena yang serupa dijumpai pada ternak unggas di Indonesia, yang diberi pakan jagung pipil dan bungkil kedelai impor. Jagung dan bungkil kedelai tersebut diimpor dari negara-negara yang telah mengembangkan berbagai tanaman transgenik sehingga diduga kuat bahwa kedua tanaman tersebut merupakan tanaman transgenik.

Aspek lingkungan
1. Potensi erosi plasma nutfah
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah tanaman, plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai contoh, dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek pestisida, misalnya jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu raja (Danaus plexippus) sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem akibat musnahnya plasma nutfah kupu-kupu tersebut. Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam jagung Bt dapat dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang berada pada jarak hingga 60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva kupu-kupu raja yang memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten pestisida tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi eksistensi plasma nutfahnya.

2. Potensi pergeseran gen
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera setelah 10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme dan organisme tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah mengalami pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam ini dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur tanah di areal pertanamannya.

3. Potensi pergeseran ekologi
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat memecah selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat menimbulkan gangguan lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi.
4. Potensi terbentuknya barrier species
Adanya mutasi pada mikroorganisme transgenik menyebabkan terbentuknya barrier species yang memiliki kekhususan tersendiri. Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan adalah terbentuknya superpatogenitas pada mikroorganisme.

5. Potensi mudah diserang penyakit
Tanaman transgenik di alam pada umumnya mengalami kekalahan kompetisi dengan gulma liar yang memang telah lama beradaptasi terhadap berbagai kondisi lingkungan yang buruk. Hal ini mengakibatkan tanaman transgenik berpotensi mudah diserang penyakit dan lebih disukai oleh serangga.
Sebagai contoh, penggunaan tanaman transgenik yang resisten terhadap herbisida akan mengakibatkan peningkatan kadar gula di dalam akar. Akibatnya, akan makin banyak cendawan dan bakteri yang datang menyerang akar tanaman tersebut. Dengan perkataan lain, terjadi peningkatan jumlah dan jenis mikroorganisme yang menyerang tanaman transgenik tahan herbisida. Jadi, tanaman transgenik tahan herbisida justru memerlukan penggunaan pestisida yang lebih banyak, yang dengan sendirinya akan menimbulkan masalah tersendiri bagi lingkungan.

Beberapa kekhawatiran tersebut diantaranya:
1. Kekhawatiran bahwa tanaman transgenik menimbulkan keracunan
Masyarakat mengkhawatirkan bahwa produk transgenik berupa tanaman tahan serangga yang mengandung gen Bt (Bacillus thuringiensis) yang berfungsi sebagai racun terhadap serangga, juga akan berakibat racun pada manusia. Dalam artikel ini, kehawatiran ini disanggah dengan pendapat bahwa gen Bt hanya dapat bekerja aktif dan bersifat racun jika bertemu dengan reseptor dalam usus serangga dari golongan yang sesuai virulensinya.
2. Kekhawatiran terhadap kemungkinan alergi
Sekitar 1-2% orang dewasa dan 4-6% anak-anak mengalami alergi terhadap makanan. Penyebab alergi (allergen) tersebut diantaranya brazil nut, crustacean, gandum, ikan, kacang-kacangan, dan padi. Konsumsi produk makanan dari kedelai yang diintroduksi dengan gen penghasil protein metionin dari tanaman brazil nut, diduga menimbulkan alergi terhadap manusia. Hal ini diketahui lewat pengujian skin prick test yang menunjukkan bahwa kedelai transgenik tersebut memberikan hasil positif sebagai allergen. Dalam artikel ini, penulis berpendapat bahwa alergi tersebut belum tentu disebabkan karena konsumsi tanaman transgenik. Hal ini dikarenakan semua allergen merupakan protein sedangkan semua protein belum tentu allergen. Allergenmemiliki sifat stabil dan membutuhkan waktu yang lama untuk terurai dalam sistem pencernaan, sedangkan protein bersifat tidak stabil dan mudah terurai oleh panas pada suhu >65 C sehingga jika dipanaskan tidak berfungsi lagi.
Masyarakat tidak perlu bersikap anti terhadap teknologi, namun sebaiknya dapat menerima dengan sikap kehati-hatian untuk menghindari resiko jangka panjang

Berubahnya urutan informasi genetik yang dimiliki, maka sifat organisme yang bersangkutan juga berubah.
Bakteri hasil rekayasa yang lolos laboratorium atau pabrik yang dampaknya tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan menimbulkan keracunan.
Kemungkinan menimbulkan alergi
Kemungkinan menyebabkan bakteri dalam tubuh manusia dan tahan antibiotik.




BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Dari uraian yang telah kami sajikan dapat kami simpulkan bahwa :
Rekayasa transgenik dapat menghasilkan prodik lebih banyak dari sumber yang lebih sedikit.
Rekayasa tanaman dapat hidup dalam kondisi lingkungan ekstrem akan memperluas daerah pertanian dan mengurangi bahaya kelaparan.
Makanan dapat direkayasa supaya lebih lezat dan menyehatkan.
Namun selain itu juga dapat menimbulkan berbagai ke kawatiran, diantaranya yaitu:
Terjadinya silang luar
Adanya efek kompensasi
Munculnya hama target yang tahan terhadap insektisida
Munculnya efek samping terhadap hama non target

4.2 SARAN
Setelah membaca makalah di atas maka penulis menyarankan agar kita lebih berhati-hati dalam melakukan setiap percobaan apalagi mnyangkut gen dan segala rekayasanya karena bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan

Baca Juga Artikel di bawah ini
makalah biologi
Plasenta Manual
Daftar Pustaka Makalah Biologi
Sistem Peredaran Darah Pada Katak
Pengertian, Macam dan Fungsi Kalsium
Pengertian Protein
ISOLASI INSTRINSIK PADA EVOLUSI (ISOLASI HABITAT, IKLIM, ETC..)
PERBEDAAN DAN MACAM MACAM EVOLUSI
MAKALAH EVOLUSI
GENETIK JARI MANUSIA
INTERAKSI ORGANISME
Mengapa sich kita mesti makan?
LOKOMOSI
Menentukan Lokus Pada Tumbuhan
pembuatan medium drosophila
imitasi genetik III
morfologi drosophila
alelopati
ekosistem dekomposer
simulasi populasi
siklus karbon
kurva sigmoid pertumbuhan
variasi individu
perkecambahan
osmoregulasi

Minggu, 05 Juni 2011

kultur jaringan

BAB I
PENDAHULUAN

Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur (Belanda).Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbayak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap.

Dasar teori yang digunakan adalah teori totipotensi yang ditulis oleh Schleiden dan Schwann (Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977) yang menyatakan bahwa teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna, artinya dapat bereproduksi, berkembang biak secara normal melalui biji atau spora.
Teknik kultur jaringan menuntut syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah laboratorium dengan segala fasilitasnya. Laboratorium harus menyediakan alat-alat kerja, sarana pendukung terciptanya kondisi aseptik terkendali dan fasilitas dasar seperti, air listrik dan bahar bakar.

Pelaksanaan kultur jaringan memerlukan juga perangkat lunak yang memenuhi syarat. Dalam melakukan pelaksanaan kultur jaringan, pelaksana harus mempunyai latar belakang ilmu-ilmu dasar tertentu yaitu botani, fisiologi tumbuhan ZPT, kimia dan fisika yang memadai. Pelaksana akan berkecimpung dalam pekerjaan yang berhubungan erat dengan ilmu-ilmu dasar tersebut. Pelaksana akan banyak berhubungan dengan berbagai macam bahan kimia, proses fisiologi tanaman (biokimia dan fisika) dan berbagai macam pekerjaan analitik. Kadang-kadang latar belakang pengetahuan tentang mikrobiologi, sitologi dan histologi. Pelaksana juga dituntut dalam hal ketrampilan kerja, ketekunan dan kesabaran yang tinggi serta harus bekerja intensif.
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam (eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri.

Dalam bab ini akan dibicarakan tentang beberapa pengetahuan antara lain tentang:
1. Sejarah Budidaya Jaringan Tumbuhan
2. Landasan Kultur Jaringan
3. Tipe-tipe Kultur Jaringan
4. Istilah-istilah Dalam Kultur Jaringan
5. Peranan Kultur Jaringan

1. Sejarah Budidaya Jaringan Tumbuhan
Tokoh-tokoh yang berperan dalam sejarah dimulainya pengetahuan kultur jaringan antara lain adalah:
 Orang yang melakukan kultur jaringan adalah Gottlieb Haberlant pada tahun 1902.
 Tahun 1904 Hannig melakukan kultur embrio pada tanaman cruciferae.
 Knudson berhasil mengecambahkan anggrek secara in vitro di tahun 1922, pada tahun yang sama Robbins mengkulturkan ujung akar secara in vitro.
 Gautheret, nobecourt dan White yang menemukan auxin dan telah berhasil membudidayakan kalus pada tahun 1939.
 Skoog dkk. telah menemukan sitokinin dan orang pertama yang sukses dalam melakukan kultur jaringan pada tahun 1939.
 Tahun 1940 Gautheret melakukan ku.ltur jaringan kambim secara in vitro pada tanaman Ulmus untuk study pembentukan tunas adventif.
 Tahun 1941 Penggunaan air kelapa untuk campuran media dalam kultur Datura oleh van Overbeek.
 Pembentukan tunas adventif pertama pada kultur tembakau secara in vitro oleh Skoog pada tahun 1944.
 Baru pada tahun 1946, tanaman lengkap pertama dapat dihasilkan dari eksplan kultur tunas ujung pada Lupinus dan Tropaeolum oleh Ball.
 Pada tahun 1950 Ball mencoba menanam jaringan kalus tanaman Sequoia sempervirens dan dapat menghasilkan organ.
 Muir berhasil menumbuhkan tanaman lengkap dari kultur sel tunggal pada tahun 1954.
 Tahun 1955 Miller dkk. Menemukan kinetin yang dapat memacu pembelahan sel.
 Produksi tanaman haploid pertama dihasilkan oleh Guha pada tahun 1964.
 Laminar air flow digunakan pertamakali pada akhir tahun 60-an.
 Power mencoba melakukan penyatuan (fusi) protoplas pertama kali pada tahun 1970.
 Baru pada tahun 1971 tanaman lengkap dihasilkan dari eksplan protoplas oleh Takebe.
 Untuk mendapatkan tanaman yang tahan penyakit, Larkin pada tahun 1981 mengadakan penelitian variasi somaklonal yang pertama kali.
 Salah satu cara untuk mendapatkan kultuvar unggul adalah dengan melakukan transformasi. Transformasi sel pertama dilakukan oleh Horch pada tahun 1984.
 Trasformasi tanaman pertama dilakukan oleh IPTC pada tahun 1986.
 Transformasi wheat oleh Vasil pada tahun 1992.
 Pada tahun 1996 pelepasan pertama tanaman hasil transformasi genetik.

2. Landasan Kultur Jaringan
Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari tanaman, yaitu:
a. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel.Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.
b. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru.
c. Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh.Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan.

3. Tipe-tipe Kultur Jaringan
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.
Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
1. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau seedling.
2. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
3. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
4. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.
5. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
6. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.

4. Istilah-istilah (terminologi) Dalam Kultur Jaringan
Bahan tanam yang digunakan dalam kultur jaringan biasanya disebut dengan eksplan.
1. Kalus :suatu jaringan yang tersusun oleh sel-sel terdediferensiasi yang umumnya dihasilkan oleh jaringan yang luka atau kultur jaringan pada media yang berisi auxin tertentu atau Pertubuhan aktif massa sel yang belum dan terdiferensiasi dan tidak terorganisir yang berkembang dari jaringan luka atau kultur jaringan yang ditanam pada media dengan tambahan zat pengatur tumbuh.
2. Dalam kultur jaringan, sering dilakukan pemindahan eksplan dari media I (untuk induksi kalus) ke media II (media untuk induksi organ tunas dan akar). Pemindahan eksplan dari media satu ke media lain (baik jenis medianya sama atau lain) dikenal dengan istilah subkultur.
3. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah subkultur pertama dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal.
4. Bahan yang diambil pada setiap subkultur disebut inokulum.
5. Kultur asenik adalah kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan.
6. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat, dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. organogenesis adalah proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.
7. Pucuk yang terbentuk pada tempat yang bukan jaringan asalnya (origin) yang biasa, disebut pucuk adventif. Seperti pucuk yang terbentuk dari kalus, hipokotil, kotiledon dan akar.
8. Embriogenesis adalah proses terbentuknya embrio somatik.
9. Embrio somatik (nonzygotic embryo) adalah embrio yang bukan berasal dari zigot, tetapi dari sel tubuh tanaman.
10. Bila embrio terbentuk dari kultur anther atau mikrospora disebut androgenesis, bila berasal dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebut gynogenesis.
11. Anakan tanaman yang telah lengkap memiliki organ daun, batang dan akar hasil kultur jaringan disebut plantlet (plantula).
12. Plantula yang akan dipindah ke lapangan dan diperlakukan sebagai bibit, harus mengalami masa adaptasi dari kultur heterotropik menjadi kultur autotropik. Masa adaptasi plantula disebut dengan aklimatisasi.
13. Pucuk-pucuk yang terbentuk dari jaringan kalus, terutama yang sudah mengalami subkultur, dapat bervariasi. Variasi-variasi ini disebut variasi somaklonal. Penyebab variasi ini belum diketahui dengan pasti, ada kemungkinan variasi ini sudah ada dalam eksplan asal karena sifat kromosom mosaic dalam sel-sel somatik ataupun terjadi akibat lingkungan dalam kultur.
14. Salah satu variasi yang terjadi adalah tanaman yang aneuploid yaitu tanaman dengan jumlah kromosom 2n-1 atau 2n+1.
15. Sel-sel dalam kalus atau sel-sel dari jaringan daun di-isolasi dengan perlakuan enzim merupakan bahan untuk memperoleh protoplasma. Protoplasma-protoplasma diperoleh dengan menghilangkan dinding sel dengan bantuan enzim-enzim cellulase, hemicelluase dan pektinase. Protoplasma kemudian dapat “dipaksa” untuk saling menempel dan bersatu membentuk suatu fusi sel. Proses ini merupakan bidang pemuliaan yang disebut hibridisasi genetik.
16. Hasil gabungan dua atau lebih protoplasma yang berbeda jenis dengan inti-intinya dikenal dengan istilah heterokarion.
17. Bila hanya sitoplasma yang bergabung maka disebut dengan cybrid.

5. Peranan Kultur Jaringan
A. Dalam bidang Hortikultura.
Kultur jaringan sudah diakui sebagai metode baru dalam perbanyakan tanaman. Tanaman yang pertama berhasil diperbanyak secara besar-besaran melalui kultur jaringan adalah tanaman anggrek, menyusul berbagai tanaman hias, sayuran, buah-buahan, pangan dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu juga saat ini telah dikembangkan tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan melalui teknik kultur jaringan. Terutama untuk tanaman yang secara ekonomi menguntungkan untuk diperbanyak melalui kultur jaringan, sudah banyak dilakukan secara industrial. Namun ada beberapa tanaman yang tidak menguntungkan bila dikembangkan dengan kultur jaringan, misalnya: kecepatan multiplikasinya terlalu rendah, terlalu banyak langkah untuk mencapai tanaman sempurna atau terlalu tinggi tingkat penyimpangan genetik.

Dalam bidang hortikultura, kultur jaringan sangat penting untuk dilakukan terutama pada tanaman-tanaman yang:
1. Prosentase perkecambahan biji rendah.
2. Tanaman hibrida yang berasal dari tetua yang tidak menunjukkan male sterility.
3. Tanaman hibrida yang mempunyai keunikan di salah satu organnya (bentuk atau warna bunga, buah, daun, batang dll).
4. Perbanyakan pohon-pohon elite dan/atau pohon untuk batang bawah.
5. Tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif, seperti: kentang, pisang, stroberry dll.

B. Dalam bidang agronomi
Kultur jaringan sangat membantu dalam usaha eliminasi patogen. Dengan metode ini dapat dipilih bagian atau sel-sel yang tidak mengandung sel-sel yang tidak mengandung patogen, terutama virus dan menumbuhkan sel-sel tersebut serta meregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang sehat. Secara konvensional tidak ada cara yang efektif untuk menghilangkan virus dari bahan tanaman. Kultur meristem yang disertai perlakuan temperatur 38-40oC selama beberapa waktu, dapat menghilangkan virus dari bahan tanaman. Bahan yang bebas patogen ini juga memudahkan pertukaran plasma nutfah internasional.
Seleksi tanaman merupakan kegiatan agronomi yang telah ada sejak manusia mulai membudidayakan tanaman. Pada metode konvensional, seleksi tanaman memerlukan jumlah tanaman yang banyak sekali pada lahan yang luas, dengan pemeliharaan yang intensif serta waktu yang lama. Dengan berkembangnya kultur jaringan, ditemukan hasil yang tidak terduga. Dalam kultur yang membentuk sel-sel bebas, terjadi variasi somaklonal dalam hal morfologi, produksi, pola pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit. Dengan media seleksi, beberapa lini-lini sel ini dapat dibedakan dari sel-sel lini yang biasa dalam beberapa petri-dish.

C. Dalam bidang pemuliaan tananaman
Dalam bidang pemuliaan tanaman yang komersial, banyak ditemui kegagalan pembentukan embrio yang viable. Kegagalan disebabkan oleh hambatan pada polinasi, pertumbuhan pollen-tube, fertilisasi dan perkembangan embrio atau endosperm. Setelah kultur protoplasma berkembang, diharapkan hambatan ini dapat dikurangai dengan metode fusi protoplasma atau injeksi organel dan sitoplasma dari sel yang satu ke sel lain.
Teknik kultur jaringan dapat diterapkan dalam bidang pemuliaan tanaman terutama untuk mempercepat pencapaian tujuan dan membantu jika cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah. Melaui teknik kultur jaringan dapat dilakukan manipulasi sebagai berikut:
1. Manipulasi jumlah kromosom melalui bahan kimia atau meregenerasikan jaringan tertentu dalam tanaman seperti: endosperma yang mempunyai kromosom 3n.
2. Tanaman haploid dan double haploid yang homogeneous melalui kultur anther atau mikrospora.
3. Polinasi in vitro dan pertumbuhan embrio yang secara normal abortif.
4. Hibridisasi somatik melalui teknik fusi protoplasma baik intraspesifik maupun interspesifik.
5. Variasi somaklonal.
6. Transfer DNA atau organel untuk memperoleh sifat tertentu.

BAB II
LABORATORIUM DAN RUANGAN
KULTUR JARINGAN

Dalam kultur jaringan, pertumbuhan eksplan atau inokulum diusahakan dalam lingkungan aseptik dan terkendali. Implikasi dari keadaan ini adalah bahwa setiap langkah dalam pelaksanaanya harus dilakukan dalam laboratorium. Laboratorium yang efektif merupakan salah satu unsur penting yang ikut menentukan keberhasilan suatu kegiatan, baik untuk keperluan peneletian, maupun produksi. Laboratorium kultur jaringan sebaiknya mempunyai pembagian ruangan yang diatur sedemikian rupa sehingga setiap kegiatan terpisah satu dengan yang lainya, tetapi juga saling berhubungan dan mudah dicapai.
Penataan ruangan dalam laboratorium, dikaitkan dengan langkah-langkah dalam prosedur kultur jaringan dan alat-alat yang diperlukan. Kegiatan kultur jaringan di dalam laboratorium, dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
(1) Persiapan media dan bahan tanaman.
(2) Isolasi dan penanaman.
(3) Inkubasi dan penyinaran kultur.
Masing-masing kegiatan harus terpisah satu dengan lainya, dengan peralatan yang tersendiri, karena kegiatan-kegiatan tersebut, maka ruangan yang dibutuhkan adalah :
1. Ruang persiapan dan ruang stok
2. Ruang isolasi dan penanaman.
3. Ruang kultur.
5. Ruang mikroskop atau ruang analisa.

Ruang kultur biasanya merupakan ruang yang terbesar dari ruang laboratorium dan harus dipikirkan kemungkinan perluasan. Ruang persiapan dan ruang transfer tergantung dari jumlah dan besar alat-alat, sedangkan ruang stok merupakan ruangan terkecil dan tergantung dari macam pekerjaan, kadang-kadang dibutuhkan ruang mikroskop dan/atau ruang analisa. Ukuran tiap ruangan sangat tergantung dari: A. Alat-alat yang dipergunakan; B. Jumlah personalisa yang terlibat; C. Tujuan pekerjaan; D. kapasitas produksi; E. Biaya yang tersedia.
Ruangan laboratorium harus dijaga tetap bersih, serta bebas dari hewan kecil seperti tikus dan insek (lalat, semut, kecoa dan lain-lain). Sarana dasar seperti : aliran listrik yang cukup, air yang lancar, dan gas, merupakan perlengkapan yang dapat dikatakan harus dimiliki.

1. Ruang persiapan dan ruang stok
Ruang ini merupakan bagian pusat kegiatan laboratories dimana sebagian besar aktifitas kegiatan dikerjakan diruang ini. Aktifitas-aktifitas yang dikerjakan disini antara lain mempersipakan media kultur dan bahan tanaman yang akan dipergunakan, sebagai tempat mencuci alat-alat laboratorium dan tempat menyimpan alat-alat gelas. Fasilitas yang dibutuhkan dalam ruangan ini adalah meja tempat meletakkan alat-alat pemanas, meja untuk alat-alat timbang, meja untuk bekerja dan tempat mencuci.
Persiapan media meliputi penimbangan bahan, pengenceran media, penuangan ke dalam wadah kultur dan sterilisasi. Persiapan bahan tanaman meliputi pencucian kotoran-kotoran dari lapangan, pembuangan dan pemotongan bagian-bagian yang tidak diperlukan serta perlakuan awal untuk mengurangi sumber kontaminasi yang ada pada permukaan bahan tanaman.
Peralatan yang diletakkan dalam ruangan ini terdiri dari :
1. Timbangan analitik timbangan makro.
2. Refrigerator , Freezer dan desikator.
3. Hot plate yang dilengkapi stirrer atau kompor gas
4. Stirrer dengan magnetic stirrer.
5. Autoklaf vertical atau horizontal.
6. Microwave oven.
7. pH meter.
8. agar dispenser.
9. Oven.
10. Destiltor
11. Water bath yang dilengkapi pengatur temperatur
12. Centrifuge dan Vortex
13. Alat-alat gelas standard, antara lain: labu takar berbagai ukuran, pipet biasa dan mikro pipet, erlenmeyer berbagai ukuran (100 ml, 250 ml, 500 ml, 1000 ml), gelas piala berukuran (100 ml, 250 ml, 500 ml, 1000 ml), pengaduk gelas, wadah kultur : botol, tabung reaksi, cawan petri, gelas ukur dalam berbagai ukuran.
14. Alat untuk mencuci.
15. Rak-rak pengering.
16. Lemari alat-alat, bahan kimia, serta bahan-bahan lain (alumunium foil, kertas timbang, karet gelang dan sebagainya).
17. Alat-alat kecil: spatula, pisau , scalpel dan pinset.
18. Fume hood (ruang asam)
19. Hood tempat penimbangan bahan-bahan yang carcinogenic.
20. Kereta dorong (cart) untuk memudahkan pemindahan alat-alat dan media dari ruang satu ke ruang lainnya.
Ruang stok sangat diperlukan untuk menyimpan larutan stok makronutrien, mikronutrien, senyawa khelat (Fe-EDTA), vitamin dan zat pengatur tumbuh. Pada skala laboratories ruang stok cukup kulkas (refrigerator), freezer, akan tetapi untuk skala industri dibutuhkan ruangan yang lebih besar, sehingga ruang ini berupa kamar yang berukuran sesuai kebutuhan, misalnya berukuran 3 x 3 x 3 m3 .
Untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pelaksanaan kultur jaringan, keperluan dalam tiap tahapan kerja sudah direncanakan terlebih dahulu. Sebelum pekerjaan penanaman baru dan subkultur rutin dilakukan, media tumbuh sudah dipersiapkan minimum 3 hari sebelum diperlukan. Media-media yang dipersiapkan ini harus disimpan di ruang yang dingin dan gelap. Ruang untuk penyimpanan media-media yang disediakan ini disebut ruang stok. Ruang stok harus berhubungan langsung 2 arah, satu arah dengan ruang persiapan dan arah lain dengan ruang transfer. Kebersihan ruangan harus diperhatikan. Tidak ada alat-alat yang diletakkan dalam ruang stok, Hanya perlu rak-rak untuk meletakkan media. Larutan stok yang sudah mengalami pengendapan atau terkontaminasi sebaiknya tidak digunakan lagi dan segera dikeluarkan dari ruang stok supaya tidak memenuhi ruangan.

2. Ruang isolasi dan penanaman
Ruang isolasi sering diistalahkan dengan ruang steril atau ruang tabur. Ruangan ini untuk skala laboratories biasanya tidak begitu luas karena biasanya berisi satu laminar air flow yang diperuntukkan untuk seorang atau dua orang bekerja di dalamnya, akan tetapi untuk skala industri ruangan ini biasanya luas atau sangat luas tergantung berapa kapasitas orang yang bekerja sacara bersama-sama seperti gambar dibawah ini.
Ruang penabur harus selalu terjaga kebersihannya atau kesterilannya. Setiap akan dan selesai kegiatan penanaman eksplan selalu dibersihkan dan disterilkan menggunakan alcohol 70% atau spiritus, terutama pada meja laminar air flow, sedangkan lantai dan dinding ruangan dibersihkan dengan larutan pembersih lantai yang dilengkapi oleh desinfektan.
Di dalam ruangan Laminar air flow biasanya dilengkapi dengan lampu UV untuk sterilisasi ruangan di dalam LAF tersebut. Alat-alat yang selalu tersedia di dalam ruangan penabur selain LAF, adalah lampu Bunsen, hand sprayer, peralatan untuk isolasi eksplan yang sudah disterilkan dan rak dorong.

3. Ruang kultur.
Teknik kultur jaringan akan berhasil sukses bila dikerjakan di dalam laboratorium yang bersih dan steril, ruangan yang kering dan dilengkapi untuk memproteksi spora udara dari mikroorganisme. Sangat dianjurkan ruangan selalu bebas dari debu, sebelum melakukan segala aktifitas. Kultur jaringan tanaman harus diinkubasikan di bawah kondisi temperatur, pencahayaan, fotoperiode, kelembaban dan sirkulasi udara yang terkontrol.
Ruang inkubasi kultur biasanya merupakan ruang besar dengan kemungkinan perluasan bila diperlukan. Pertambahan kultur terjadi secara periodik disebabkan pertumbuhan satu jenis atau penambahan jenis kultur baru. Kultur yang tumbuh dan telah memperbanyak diri, secara teratur harus disubkultur. Tergantung dari jenis tanaman dan besarnya wadah kultur, subkultur dapat dilakukan setiap 4-6 minggu sekali. Hal ini berarti tiap bulan ada pelipatan jumlah kultur.
Botol kultur, biasa diatur pada rak-rak terbuka yang bersusun untuk menghemat area. Jarak antara tiap lapisan rak pada umumnya 40-50 cm. Jarak antara rak harus diatur sedemikian rupa sehingga memudahkan lalu lintas pemeriksaan kultur. Di dalam ruang kultur pada keadaan tersusun di rak, lingkungan fisik pertumbuhan diatur sedemikian rupa sehingga mendukung pertumbuhan yang optimal. Studi yang sistematik tentang efek lingkungan ruang kultur untuk tiap tahap pertumbuhan eksplan, sangat jarang dilakukan. Namun secara garis besar, ruang kultur harus mempunyai pengaturan terhadap temperatur dan cahaya.
Eksplan memang sudah dipenuhi kebutuhan karbohidrat dari gula dan media, sehingga cahaya untuk keperluan fotosintetis tidak begitu mendesak, tetapi cahaya amat penting untuk pengendalian perkembangan eksplan. Unsur-unsur dari cahaya yang perlu diperhatikan adalah kwalitas cahaya, panjang penyinaran, dan intensitas cahaya. Temperatur ruang kultur juga menentukan respon fisiologi kultur dan kecepatan pertumbuhannya.
Kualitas cahaya. Cahaya putih merupakan cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur. Lampu fluorescent biasa digunakan sebagai sumber cahaya dalam ruang kultur. Keseimbangan spektrum lampu fluorescent sangat baik dan sangat efisien dalam penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar. Bentuk lampu memungkinkan penyebaran cahaya yang baik, dengan panas yang dikeluarkan relatif rendah. Pada lampu pijar, hampir 90 persen merupakan energi panas sehingga mempengaruhi temperatur ruangan. Kadang-kadang pada kultur tertentu, campuran cahaya dari lampu pijar dan fluorescent memberi pertumbuhan yang lebih baik.

Intensitas cahaya. Intensitas cahay yang baik dari lampu fluorescent adalah antara 1000-400 ft-c (1000-4000 lux). Murashige menyatakan bahwa pengaruh penyinaran dalam pertumbuhan asparagus, Gerbera, dan Saxifraga secara in vitro, yang terbaik dalah 1000 ft-c untuk multiplikasi tunas, dan 300-1000 ft-c untuk perakaran tunas. Intensitas cahaya diatur dengan menempatkan jumlah lampu dengan kekuatan tertentu pada jarak antara 40-50 cm dari tabung kultur, untuk luas area tertentu.
Panjang penyinaran. Total cahaya yang dibutuhkan suatu tanaman merupakan fungsi dari periode penyinaran. Berapa lama cahaya harus diberikan, tergantung dari jenis tanaman dan respon yang diinginkan. Ada kultur yang membutuhkan penyinaran terus-menerus, tapi banyak juga penelitian yang memperoleh hasil bahwa penggunaan panjang penyinaran selama 14-16 jam memberikan hasil yang baik. Pada tanaman tertentu membutuhkan penyinaran 10 jam, dan sebagainya. Panjang penyinaran diatur dengan alat automatic time switch atau lebih umum disebut timer.
Temperatur. Temperatur di dalam ruang kultur diharapkan dapat diatur. Bila dapat, temperatur antara periode gelap dan terang diatur berbeda sehingga proses fisiologis yang diinginkan dapat terjadi. Banyak laporan menyatakan bahwa temperatur yang baik untuk pertumbuhan tanaman dalam in vitro antara 25-280 C yang merupakan suhu ruangan normal. Beberapa perlakuan khusus kadang-kadang membutuhkan suhu yang rendah, misalnya untuk pengumbian pada kultur kentang, suhu yang diperlukan adalah 18-20o C. Suhu ruangan di negara tropis dapat diturunkan dengan pemasangan AC. Pemakain AC mutlak, karena ruang kultur merupakan ruang tertutup yang sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas.

Alat-alat yang diperlukan dalam ruang kultur adalah :
1. Rak-rak kultur 3-4 tingkat dengan lampu fluorescent atau lampu TL.
2. Timer untuk mengatur lama penyinaran.
3. AC dan remote untuk mengatur temperature.
4. Mikroskop binokuler dan mikroskop inverted.
5. Alat-alat penunjang (kertas millimeter, penggaris, alat pembesar, dan sebagainya).
6. Shaker horizontal dan fermentor.

















BAB III
MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

Perkembangan yang sangat pesat tentang media nutrisi untuk pertumbuhan sel tanaman dimulai sejak tahun 1960-an dan 1970-an. Nutrisi dasar untuk kultur sel tanaman pada dasarnya mirip dengan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri. Namun, variasi komposisi nutrisi tergantung pada sel-sel, jaringan-jaring, organ-organ dan protoplasma serta jenis tanaman yang akan dikulturkan. Sebelum pembuatan nutrisi media, satu hal yang sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah mengetahui tipe kultur yang mana yang akan digunakan, misalnya: kalus, sel, organ atau protoplas yang akan diteliti serta tujuan akhir dari penelitian tersebut. Tipe kultur yang berbeda akan mempunyai satu atau lebih komposisi media yang unik.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi sumber karbohidrat yang pada umumnya berupa gula menggantikan karbon yang biasanya dihasilkan dari atmosfer melalui melalui proses fotosintesis.
Hasil yang lebih baik dapat dijangkau/ diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitamin-vitamin, asam amino solid dan zat pengatur tubuh. Walaupun sudah diusahakan untuk menghindarkan penggunaan komponen-komponen yang tidak jelas (komponennya) seperti juice buah-buahan dan tauge, air kelapa, yeast exstracts dan casein hydrolysate, tetapi kadang-kadang kita bisa memperoleh hasil yang lebih tinggi dengan penambahan tersebut. Sebagai contoh, air kelapa masih sering digunakan di laboratorium-laboratorium penelitian, sedangkan pisang masih merupakan komponen tambahan yang sangat popular pada media anggrek.

Fasilitas dan Peralatan Yang Digunakan Dalam Pembuatan Media
1. Autoklaf atau dandang presto.
2. Timbangan analitik digital.
3. Kertas tissue, aluminium foil, plastik wrap, kertas wrap, label.
4. Peralatan gelas untuk kultur jaringan tanaman, antara lain: botol kultur, gelas piala, erlenmeyer, cawan petri, gelas arloji, gelas pengaduk, gelas ukur, labu ukur, pipet dan lain-lain.
5. Desikator.
6. Unit filter disponsible.
7. Kulkas dan freezer.
8. Magnetik stirrer yang dilengkapi dengan hot plate.
9. Microwave, oven atau kompor gas.
10. Trolley atau rak dorong,
11. pH meter atau pH stick.
12. Vortek.
13. Sumber air (Air sumur atau PDAM) dan sumber arus listrik.
14. Water bath yang dilengkapi pengontrol temperatur.

Persiapan Membuat Larutan Dalam Satuan (Unit)
Konsentrasi dari satu substrat tertentu dalam media dapat digambarkan dalam variasi satuan (unit) adalah sebagai berikut ini:
Satuan Berat digambarkan sebagai milligram per liter (mg/l atau dapat ditulis sebagai mgL-1.
10-6 = 1,0 mg/l atau 1 part per million (ppm) atau seper juta bagian.
10-7 = 0,1 mg/l
10-9 = 0,001 mg/l atau µg/l

Satuan Konsentrasi.
Satu molar larutan (M) suatu senyawa sama dengan massa molekul dalam gram per liter.
1 molar (M) = massa molekul dalam g/l.
1 mM = massa molekul dalam mg/l atau 10-3 M.
1 µM = massa molekul dalam µg/l atau 10-6 M atau 10-3 mM.

Konversi dari mili molar (mM) ke mg/l.
Sebagai contoh, massa molekul auxin : 2,4 D = 221,0.
1 M larutan 2,4 D berisi 221,0 g/l.
1 mM larutan 2,4 D berisi 0,221 g/l = 221,0 mg/l
1 µM larutan 2,4 D berisi 0,000221 g/l = 0,221 mg/l

Konversi dari mg/l ke mili molar (mM)
Massa molekul CaCl2. 2H2O = 40.08 + 2 x 35..453 + 4 x 1.008 + 2 x 16 = 147.018
Massa atom: Ca = 40.08 ; Cl = 35..453 ; H = 1.008; O = 16



Komposisi Media
Unsur hara di dalam media kultur tersusun atas beberapa komponen, sebagai berikut :
1. Hara makro yang digunakan pada semua formulasi media kultur.
2. Hara mikro selalu digunakan. Ada beberapa komposisi media yang hanya menggunakan besi atau besi-kelat.
3. Vitamin-vitamin dan asam-asam amino serta N organik, umumnya ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi.
4. Sumber energi dan karbon berupa gula, merupakan keharusan, kecuali untuk tujuan yang sangat khusus.
5. Persenyawaan-persenyawaan organik kompleks alamiah seperti: air kelapa, ekstrak ragi (yeast extract), juice pisang hijau, tauge, nanas, kentang dan sebagainya.
6. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT): ada beberapa jenis, antara lain: auxin, sitokinin, geberelin, asam absisat, etilin dan sebagainya. ZPT merupakan komponen penting dalam media kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat tergantung pada jenis taman dan tujuan dari kultur tersebut.
7. Buffer (chelating agent).
8. Bahan Pemadat. Bahan ini digunakan untuk membuat media padat, yang biasa digunakan adalah agar.
9. Arang aktif, berfungsi untuk menyerap senyawa toxic yang dihasilkan oleh eksplan sebagai anti oxidan juga sering digunakan untuk memacu pertumbuhan akar.



Formulasi Media Kultur
Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi larutan yang digunakan untuk hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya. Unsur-unsur hara diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Koposisis media dan perkembangan formulasinya didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang digunakan serta pendekatan dari masing-masing peneliti. Beberapa jenis sensitif terhadap konsentrasi senyawa makro tinggi atau membutuhkan zat pengatur tertentu untuk pertumbuhannya. Pada periode tahun 1930an, formulasi media terutama ditujukan untuk menumbuhkan akar, tuber dan kambium. Media untuk penumbuhan akar yang dikembangkan oleh White (1934 dalam Gunawan 1988), pertama White menggunakan media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose, tetapi kemudian yeast ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu pyridoxine, thiamine dan nicotinic acid (Chawla, 2002).
Kultur kalus biasanya ditumbuhkan pada media dengan konsentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar. Nobecourt (1937) dalam George & Sherrington, 1984), menggunakan setengah konsentrasi dari larutan Knop yang biasa digunakan untuk hidroponik, digunakan juga untuk menumbuhkan kalus wortel. Pada media Knop sumber karbon berupa glucosa dan dan vitamin berupa cysteine hydrochloride. Media White juga dikembangkan oleh Hildebrant dkk (1946 dalam Gunawan 1988), dengan memodifikasi unsur-unsur makro yang lebih tinggi dibandingkan pada media kultur tembakau, media ini media ini digunakan mengkulturkan jaringan tumor tembakau dan bunga matahari. Konsentrasi untuk NO3- K + lebih tinggi dibandingkan pada media White, namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah dibandingkan media yang lain yang banyak digunakan pada kultur jaringan sekarang, sedangkan kandungan unsur P, Ca, Mg dan S pada media tumor matahari, sama dengan media untuk jaringan tanaman pada umumnya seperti pada media yang dikembangkan sekarang. Perbaikkan formulasi media yang penting adalah pengembangan unsur makro yang universal, untuk mendukung pertumbuahan jaringan tumbuhan. Dalam media perlu ditambahkan ammonium dengan meningkatkan konsentrasi NO3- dan K +.
Media Knop dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983).
Media White dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang umum digunakan sekarang.
Media Knudson dan media Vacin and Went, media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping 8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek. Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.
Media Nitsch & Nitsch, menggunakan NO3- dan K+ dengan kadar yang cukup tinggi untuk mengkulturkan jaringan tanaman artichoke Jerussalem. Penambahan ammonium khlorida sebanyak 0.1 mM, menghasilkan pertumbuhan jaringan yang menurun. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa NH4+ sangat menunjang pertumbuhan kalus tembakau (Miller et al, (1956 dalam Gunawan 1988).
Pertumbuhan sel dari jaringan suatu organ dibandingkan dengan jaringan tumor tanaman Venca rosea (Catharanthus roseus), menunjukkan bahwa penambahan ammonium ke dalam media White yang sudah dimodifikasi, mempunyai pertumbuhan yang lebih baik. Konsentrasi NO3-, NH4-, K+ dan H2PO4- yang diperoleh, hampir sama dengan yang dikembangkan oleh Miller (Wood & Braun (1961 dalam Gunawan 1988).
Media Murashige & Skoog (media MS) merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, sehingga dikembangkan media-media lain berdasarkan media MS tersebut, antara lain media :
1. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS, dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch (1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988) dalam penelitian kultur anther.
2. Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan 1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya.
3. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-, K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan, ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K, N, Zn dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C, Mg, H, Si, Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50% dari Fe dan 13% dari PO4+, mengendap (Dalton et al, 1983). Pengendapan unsur-unsur tersebut mungkin tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi jaringan tanaman dan pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi pengendapan Fe, Dalton dan grupnya menganjurkan supaya konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA yang tetap.
Media Gamborg B5 (media B5) pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5 dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari 2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
Media Schenk & Hildebrant (media SH) merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam komposisi media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik, 19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.
Media WPM (Woody Plant Medium) yang dikembangkan oleh Lioyd & Mc Coen pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon.
Pada umumnya media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media dasar. Penamaan resep media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan memperoleh suatu hasil yang penting artinya. Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain:

1. Media dasar Murhasige dan skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, terutama pada tanaman herbaceous.
2. Media dasar B5 untuk kultur sel kedelai, alfafa, dan legume lain.
3. Media dasar White (1934) yang sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat.
4. Media dasar Vacin dan Went yang biasa digunakan untuk kultur jaringan anggrek.
5. Media dasar Nitsch dan Nitsch yang biasa digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel.
6. Media dasar schenk dan Hildebrandt (1972) atau media SH yang cocok untuk kultur jaringan tanaman-tanaman monokotil.
7. Medium khusus tanaman berkayu atau Woody Plant Medium (WPM)
8. Media N6 untuk serealia terutama padi.
Dari sekian banyak media dasar yang paling sering dan banyak digunakan adalah komposisi media dari Murashige dan Skoog. Kadang-kadang untuk kultur tertentu, kombinasi zat kimia dari murashige dan Skoog masih tetap digunakan tetapi konsentrasinya yang diubah. Sebagai contoh media ½ MS, berarti konsentrasi persenyawaan yang digunakan adalah setengah konsentrasi media MS. Tabel 2. memperlihatkan sususnan persenyawaan dalam beberapa komposisi media dasar.





Pembuatan Media
Dewasa ini beberapa media kultur jaringan dapat dibeli dalam bentuk bubuk yang telah dipersiapkan. Tergantung dari jenisnya, ada yang hanya mengandung garam makro dan mikro serta vitamin, ada juga yang lengkap sampai hormon dan gula. Formula ini memang memudahkan pekerjaan, tapi untuk suatu penelitian yang memerlukan perubahan komposisi dalam satu atau beberapa komponen, maka pemisahan komponen-komponen penyusun media perlu dilakukan.
Dalam pembuatan media, langkah pertama adalah membuat stok dari media terpilih. Penggunaan larutan stok menghemat pekerjaan menimbang bahan yang berulang–ulang setiap kali membuat media. Selain itu, kadang-kadang timbangan yang dibutuhkan untuk menimbang jumlah kecil tidak tersedia dalam laboratorium. Setiap larutan stok dapat dipergunakan sampai 100 liter media, bahkan larutan stok mikro dapat dipergunakan sampai 100 liter media. Larutan stok dapat disimpan ditempat yang bertemperatur rendah dan gelap.
Pembuatan larutan stok berdasarkan pengelompokan dalam : Stok makro, stok mikro, stok Fe, stok vitamin dan stok hormone terutama bila larutan stok tidak disimpan terlalu lama (segera digunakan habis). Stok hormone dapat disimpan antara 2-4 minggu, sedangkan stok hara dapat disimpan 4-8 minggu. Dengan adanya larutan stok, pembuatan media selanjutnya hanya dengan teknik pengenceran dan pencampuran saja.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan larutan stok adalah penyimpanan (daya simpan) larutan. Larutan yang sudah mengalami pengendapan, tidak dapat digunakan lagi. Pengendapan larutan stok umumnya terjadi bila kepekatan dapat dihindari dengan membuat larutan yang tidak terlalu pekat atau tidak menggunakan larutan campuran, yaitu dengan membuat satu larutan stok hanya untuk satu jenis bahan (terutama untuk unsur hara makro). Kondisi simpan juga diperhatikan, karena ada beberapa bahan yang tidak tahan dalam suhu tinggi atau cahaya.
Larutan stok kadang-kadang ditumbuhi mikroorganisme. Larutan stok yang terkontaminasi mikroorganisme ini, juga tidak dapat digunakan lagi. Oleh karena itu kondisi simpan harus dijaga kebersihan dan tempat (wadah) larutan harus diusahakan cara-cara pembuatan larutan stok untuk media Murashige dan Skoog (1962).
Stok Hara Makro. Senyawa-senyawa sumber unsur hara makro diperlukan dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu sebaiknya dibuat dalam larutan stok tunggal. Selain itu jenis anion senyawa sumber unsur hara makro tidak sama, kemungkinan hal tersebut akan mempercepat pengendapan larutan bila dibuat larutan stok campuran. Biasanya larutan stok hara dibuat beberapa macam dan diberi nama sebagai berikut :

Cara Pembuatan Larutan Stok
a. Menimbang persenyawaan yang tertera dalam kolom tersebut misalnya (NH4NO3) sebanyak yang tertera dalam kolom berat senyawa misalnya (83500 mg).
b. Bahan yang telah ditimbang, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer atau gelas piala bersih yang sudah berisi aquadest atau air bebas ion kira-kira 500 ml lalu diaduk hingga larut merata, bila jenis senyawanya banyak, masukkan satu senyawa diaduk hingga larut baru dimasukkan senyawa yang lain, begitu untuk selanjutnya).

c. Larutan stok yg disimpan di dalam kulkas Larutan, kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur 1 liter yang telah dibilas dengan aquadest dan air bilasan dituang ke dalam labu takar (sebaiknya bilaslah dengan 50 ml aquadest 2-3 kali). Kemudian ditambahkan aquadest hingga volume larutan tepat pada 1 liter. Larutan telah telah dibuat, dipindahkan ke dalam Erlenmeyer/botol reagent ukuran 1 liter yang bersih, diberi label “A” atau yang lain dan ditutup rapat. Larutan stok yang telah jadi disimpan pada suhu kamar.
d. Untuk membuat 1 liter media, dibutuhkan 20 ml untuk larutan stok A, dan kebutuhan larutan stok lainnya dapat dilihat dalam table 6 diatas.
e. Alat-alat yang habis dipakai segera dibersihkan dan dibilas dengan aquadest.
f. Khusus untuk pembuatan larutan stok E ada sedikit perbedaan karena Fe dan Ca yang sulit larut. Untuk melarutkannya ada teknik khusus, yaitu sebagai berikut:
g. Timbang 5570 mg FeSO4.7H2O dan 7450 mg Na2EDTA.
h. Kedua bahan tersebut dilarutkan secara terpisah dalam kira-kira 250 ml aquadest, gelas piala yang digunakan volumenya 1 liter. Larutan Na2EDTA dipanaskan hingga 40-60o C selama beberapa menit, kemudian tambahkan larutan FeSO4.7H2O dan diaduk hingga tercampur merata. Bila masih sulit larut, larutan ditambah HCl 1 N setetes demi setetes hingga larutan homogen. Biarkan hingga suhu kembali ke suhu kamar.
i. Setelah mendingin, masukkan larutan campuran itu ke dalam labu ukur, tambahkan aquadest hingga volume mencapai 1 liter. Setelah volume tepat 1 liter, pindahkan ke dalam erlenmeyer/botol reagen 1 liter yang bersih dan seluruh sisinya sudah tertutup alumunium foil. Larutan stok E dapat disimpan dalam kondisi suhu kamar, tetapi lebih baik disimpan dalam lemari es. Karena larutan Fe ini peka terhadap cahaya, maka perlu diselubungi alumunium foil pada Erlenmeyer/botol penyimpannya.

Cara Pembuatan Media MS 1 L Dari Larutan Stok
1. Erlenmeyer diisi aquadest sebanyak 600 ml dan diberi magnetic stirrer, tumpangkan pada alat stirrer, selanjutnya alat tersebut di on-kan.
o Tambahkan 100 ml larutan stok makronutrien.
o Tambahkan 10 ml larutan stok mikronutrien.
o Tambahkan 10 ml larutan stok vitamin.
o Tambahkan 5 ml larutan stok Fe-EDTA.
2. Tambahkan zat pengatur tumbuh sitokinin dan atau auxin sesuai dengan kebutuhan.
3. Tambahkan sukrosa 20-30 gram L-1
4. Tambahkan aquadest hingga 990 ml.
5. Ukur pH 5,6-5,8.
6. Tambahkan agar 8-10 gram L-1. Selanjutnya media dipanaskan di atas tungku gas atau kompor listrik. Selama pemanasan, perlu diaduk dengan teratur. Pemanasan segera dihentikan, bila larutan telah terlihat jernih (agar telah larut).

7. Setelah semua media dibotolkan, tutuplah botol kultur rapat-rapat dengan alumunium foil atau tutup yang khusus dibuat dengan bahan yang tahan panas. Pada tutup tersebut, selanjutnya dibubuhkan label nama media dengan spidol yang tahan air dan panas.
8. Botol kultur tersebut kemudian disterilkan ke dalam autoklaf selama 15 menit setelah suhu mencapai 121 oC, dan tekanan 1 atmosfer atau 15 psi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada larutan stok :
a. Larutan stok media, sebaiknya tidak disimpan lebih dari 2 bulan sebelum dipergunakan.
b. Stok vitamin dan zat pengatur tumbuh, sebaiknya digunakan segar (kurang dari 2 minggu). Oleh karena itu sebelum membuat larutan stok, harus ditentukan dahulu kebutuhan media, jadwal pembuatan media dan semua sarana pembuatan media harus benar-benar sudah siap.
c. Larutan stok yang telah mengalami pengendapan dan yang sudah ditumbuhi mikroorganisme (terkontaminasi), tidak boleh digunakan lagi (dibuang).
d. Semua alat-alat gelas (alat ukur, takar, wadah) sebelum dipergunakan untuk membuat larutan, harus dibilas dulu dengan aquadest. Setelah selesai digunakan atau sebelum digunakan lagi, harus pula segera dibilas dengan aquadest. Bila tidak digunakan lagi, tempatkanlah pada rak penyimpanan secara terbalik supaya kering dan bagian dalamnya tidak berdebu.

Senyawa Mikro:
Besarnya konsentrasi senyawa mikro yang digunakan sangat kecil yaitu berukuran mikromolar, antara lain: besi (Fe), mangan (Mn), boron (Bo), tembaga (Cu), seng (Zn), Iodine (I), molybdenum (Mo), cobalt (Co). Unsur-unsur tersebut adalah merupakan komponen protein sel tanaman yang penting dalam proses metabolisme dan proses fisiologi.
Penggunaan unsur mikro awalnya dilakukan oleh Knudson pada tahun 1922, dengan menambahkan Fe dan Mn dalam media kultur untuk perkecambahan anggrek, yang ternyata hasilnya sangat baik. Barthelot, Gautheret, dan Nobecourt pada tahun 1934-1939, menyarankan penggunaan Cu, Co, Ni, Ti dan Bo dalam media kultur. Hildebrant dan kawan-kawannya pada tahun 1946, menyatakan kebutuhan Bo, Mn, Zn dan Fe yang optimum, untuk pertumbuhan kalus tanaman tembakau dan bunga matahari,sedangkan penggunaan Mo diperkenalkan oleh Buerk Holder dan Nickel. Percobaan Heller tahun 1953 membuktikan pentingnya penggunaan unsur Fe, Bo, Mn, Zn, dan Cu dalam media kultur wortel yang ditumbuhkan pada media Gautheret, Heler. Zn sangat diperlukan untuk pertumbuhan akar tomat yang normal (Eltinge & Reed, 1940 dalam George & Sherrington, 1984), sedangkan tanpa Cu, pertumbuhan terhenti sama sekali seperti yang diulas oleh Glasstone pada tahun 1947 (George & Sherringtone, 1984).
Sewanya Mangan (Mn) diperlukan dalam kultur kotiledon selada untuk memacu pertumbuhan jumlah pucuk yang dihasilkan. Mn dalam level yang tinggi dapat mengsubstitusikan Mo dalam kultur akar tomat. Mn dapat menggantikan fungsi Mg dalam beberapa sistem enzym tertentu seperti yang dibuktikan oleh Hewith pada tahun 1948.

Kekurangan Boron mengurangi laju pertumbuhan kultur sel tebu, bunga matahari, dan wortel. Sebaliknya konsentrasi lebih tinggi dari 2 mg/l, dapat berubah sisatnya menjadi racun dalam media kultur. Dalam beberapa species, ternyata terdapat interaksi antara Bo dan auksin dalam pengaturan pengakaran pada percobaan setek.
Unsur seng, Alumunium, dan Nikel, tidak banyak dipelajari efeknya terhadap pertumbuhan kultur. Untuk seng, diketahui bahwa unsur ini dibutuhkan dalam sintesa tryptophan, sedangkan untuk Al dan Ni belum ada bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut terlibat dalam metabolisme penting dalam sel. Unsur Al dan Ni jarang ditambahkan dalam formulasi media, hanya Heller dan beberapa peneliti lain yang menambahkan. Penambahan Al dan Ni pada kultur meristem Prunus, tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Iodine juga merupakan unsur yang tidak diketahui kontribusinya dalam kultur jaringan tanaman, 65% dari komposisi media yang dikembangkan, menambahkan unsur ini. Penambahan ini dilakukan setelah white menyatakan bahwa Iodine dapat memperbaiki pertumbuhan akar tomat yang dikultur in vitro. Dalam media Eeuwens yang dikembangkan pada tahun 1976 untuk kelapa, iodine yang ditambahkan 0.05 mM; nilai ini 10 kali lebih tinggi dari level yang terdapat dalam komposisi MS.

Fungsi Unsur-unsur Anorganik:
1. Kalium (K) berperan dalam sintesa protein, penggerak beberapa enzim, membuka dan menutupnya stomata.
2. Kalsium (Ca) sebagai penyusun struktur dinding sel, cofactor enzim, permeabilitas sel, komponen dari kalmodulin.
3. Fosfor (P) sebagai penyusun ATP, asam nukleat, coenzim dan fosfolipid.
4. Magnesium (Mg) penyusun molekul klorofil, membantu aktifitas enzim.
5. Mangan (Mn) mengatur oksidasi auksin, sebagai aktifator enzim.
6. Sulfur (S) sebagai penyusun beberapa asam amino, protein dan coenzim A.
7. Besi (Fe) berperan dalam sintesa klorofil, cytokrom.
8. Clorine (Cl) berperan dalam proses osmosis dan kesetimbangan ion.
9. Tembaga (Cu) berperan dalam cofactor enzim.
10. Zinc (Zn) berperan menahan oksidasi auksin, berguna dalam sintesa triptofan dan sebagai aktifator enzim.
11. Boron (Bo) berperan mempengaruhi penggunaan kalsium.
12. Cobalt (Co) diperlukan oleh organisme dalam memfiksasi N2.
13. Yodium (I) berperan dalam transport auksin.

1. Vitamin
Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman, adalah thiamine (vitamin B1), nicotinic acid (niacin) dan pyridoxine (vitamin B6). Thiamine merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan tanaman.
Nicotinic acid, penting keberadaannya di dalam media kultur akar tomat, ercis dan lobak (Bonner dan Devirian, 1939), begitu juga pyroxidin diperlukan dalam kultur akar tomat (Robbins dan Schmidt, 1939).
Myo-inositol atau meso-inositol atau i-inositol digunakan dalam media untuk memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis, sehingga myo-inositol dianggap sebagai golongan vitamin untuk tanaman. Menurut Myo-inositol berperan dalam keikutsertaan dalam lintasan biosintesa asam-D-galakturonat yang menghasilkan vitamin C dan pectin serta kemungkinan inkorporasinya dalam fosfoinositida dan fosfatidil inositol yang berperanan dalam pembelahan sel. Penambahan myo-inositol dengan konsentrasi antara 20-100 mg/l pertama kali ditunjukkan oleh Jacquiot dalam kultur kambium tanaman elm (George dan Sherringtone, 1984). Myo-inositol berpengaruh dalam morfogenesis kultur, misalnya dalam kultur Haworthia sp. Pembentukan pucuk dalam Haworthia sp. tergantung dari keberadaannya myo-inositol (Kaul dan Sabharwal, 1972, 1975). Di alam Myo-inositol ditemukan dalam air kelapa, dan dalam jumlah kecil didalam agar dipasaran. Myo-inositol juga digunakan dalam pembuatan media Wood & Braun dan Murashige & Skoog (George dan Sherringtone, 1984).
Pantothenic acid mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan jaringan tanaman tertentu, seperti Salix sp. (Telle dan Gautheret, 1947), tidak semua jenis tanaman membutuhkan penambahan pantothenic acid, contohnya pada kultur jaringan wortel.Vitamin E (tocopherol) yang ditambahkan ke dalam kultur jaringan tanaman dapat memacu pembentukan kalus friable (remah) dalam kultur embrio jagung sedangkan dalam kultur suspensi kedelai, merangsang penyebaran sel pada konsentrasi 0.95 mM (Oswald et al, 1977)

Fungsi bebetrapa vitamin
Setiap jenis vitamin mempunyai fungsi yang berbeda-beda didalam tubuh tanaman, antara lain:
1. Inositol (a vit. B) bagian dari berbagai macam membrane (kloroplas).
2. Thyamin (vit. B1) berperan sebagai coenzim dari siklus kreb.
3. Nicotinic acid (niacin) berperan dalam fotosintesa.
4. Pyridoxine (vit. B6) berperan sebagai coenzim pada beberapa enzim.
5. Pantothenic acid (a vit. B) berperan sebagai coenzim dalam metabolisme lemak.
6. Riboflavin (vit. B12) berperan sebagai coenzim, reseptor sinar biru.
7. Biotin (vit. H) berperan sebagai coenzim dalam metabolisme lemak.

Asam-asam Amino dan Senyawa N Organik
Asam amino spesifik diperlukan untuk memacu respon fisiologi, seperti penambahan L-methionine berfungsi dalam jalur biosintesa ethyline berpengaruh sebagai stimulator terjadinya proses xylogenesis (Roberts dan Baba (1978 dalam Dodds dan Roberts (1982), begitu juga senyawa nitrogen komplek seperti: arginine, urea, glutamine, asparagin dan amonia. Menurut Thom et al (1981, dalam George & Sherrington, 1984), asam-amino merupakan sumber N organik yang lebih cepat diambil daripada N anorganik dalam media yang sama. Sumber N yang berbeda ini memberikan pengaruh yang berbeda juga. Pada kultur sel sycamore, Simpkin dkk. (1970, dalam George & Sherrington, 1984) menemukan bahwa sel-sel menjadi panjang-panjang, tetapi sel yang ditumbuhkan dalam media dengan nitrat, tidak menunjukkan gejala yang demikian. Menurut Gamborg, dalam media dengan komposisi garam anorganik yang tepat, penambahan campuran asam amino seperti yang terdapat dalam casein hidrolisat tidak memberikan pengaruh nyata. Dalam media B5 untuk pertumbuhan sel akar kedelai, tidak diperlukan penambahan bahan organik lain. Beberapa asam amino memang dibuktikan mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan kultur. L-cysteine misalnya, mempunyai pengaruh mengurangi browning pada kultur jaringan tebu, seperti yang dilaporkan Liu (1981). L-asparagine digunakan oleh Green dan Phillips (1974) untuk merangsang regenerasi dalam kultur jaringan jagung. Penambahan asparagin dan alanin merangsang pembentukan pucuk dalam kultur Torenia (Kanada dan Harada, 1979).
Glycine merupakan asam amino yang ditambahkan sejak tahun 1939, setelah White menunjukkan bahwa dalam kultur tomat, penambahan Glycine lebih baik daripada ekstrak ragi. Glycine dengan konsentrasi 2 mg/l merupakan komposisi tetap dalam banyak formulasi media. Linsmaier dan Skoog pada tahun 1965 menemukan bahwa glycine tidak memacu pertumbuhan kalus tembakau.
Lysine dan threonine merupakan asam amino yang harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menghambat pertumbuhan walaupun pada konsentrasi yang rendah. Kedua asam amino tersebut mempunyai efek co-operasi dalam penghambatan seperti diulas oleh George dan Sherrington (1984). Sebaiknya tidak menambahkan keduanya bersama-sama. Ada beberapa asam amino saling antagonis terhadap sesamanya, seperti phenylalanine dan tyrosine, L-leucine dan L-valine, L-argine dan L-lysine.

Sumber Energi Dan Karbon
Di dalam kultur jaringan, eksplan yang dipergunakan merupakan bagian kecil dari tanaman dan tidak merupakan suatu sistem yang lengkap. Untuk itu banyak bahan-bahan organik yang harus ditambahkan ke dalam media untuk mendukung pertumbuhan yang optimal. Karbohidrat terutama gula, merupakan komponen yang selalu ada dalam media tumbuh, kecuali dalam media untuk tujuan yang spesifik. Gula putih yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur.
Perkembangan pemilihan jenis karbohidrat dimulai tahun 1946 oleh Gautheret yang membandingkan pengaruh berbagai jenis gula pada kultur jaringan wortel (George & Sherringtone, 1984). Gautheret mendapatkan bahwa sukrosa adalah yang paling baik, lalu glukosa, maltosa, dan rafinosa. Fruktosa dan galaktosa kurang efektif, sedangkan manosa dan laktosa merupakan karbohidrat yang paling tidak efektif. Pada umumnya urutan yang demikian berlaku hampir semua tanaman. Namun ada saja perkecualian dalam semua kasus. Kultur pucuk mulberry yang tidak dorman, tumbuh baik pada media dengan maltosa, glukosa, dan fruktosa sedangkan penambahan sukrosa, tidak merangsang pertumbuhan pucuk. Induksi sitodiferensiasi ke arah pembentukan elemen trachea dapat terjadi dengan pemilihan jenis karbohidrat dan konsentrasi yang tepat dalam media kultur (Dodds dan Robert, 1982).
Sukrosa di dalam media dihidrolisa menjadi monosakharida selama masa kultur. Hidrolisa terjadi karena aktifitas enzim invertase yang terdapat pada dinding sel. Hidrolisa sukrosa paling efektif dalam media dengan pH rendah (George & Sherrington, 1984).
Konsentrasi optimum sukrosa tergantung dari jenis jaringan yang dikultur. Pada kultur kalus dan pucuk, konsentrasi sukrosa yang digunakan adalah antara 2-4 % yang merupakan konsentrasi optimum. Namun dalam kultur embrio, konsentrasi gula dapat mencapai 12 %. Menurut Szweykowske, 1974 yang dikutip oleh George & Sherrington (1984), pembelahan sel protonema Ceratodon purpureus dipengaruhi oleh interaksi antara glukosa dan 2iP.
Gula berfungsi ganda di dalam media yaitu berfungsi sebagai sumber energi, dan sebagai penyeimbang tekanan osmotik media. Menurut George & Sherrington (1984), 4/5 bagian dari potensial osmotik dalam media White disebabkan oleh gula, sedangkan dalam media MS hanya setengah dari potensial osmotiknya disebabkan adanya gula. Dalam percobaan Yoshida et al pada tahun 1973 yang menerangkan bahwa pertumbuhan kalus Nicotiana glutinosa yang terbaik bila potensial osmotik yang disebabkan adanya sukrosa dalam larutan: -2.2 atm. Dengan garam-garam lain memberikan -2.7 atm. Kombinasi yang lain adalah : sukrosa - 0.9 atm., garam-garam -3.6 atm (George & Sherringtone, 1984).

Persenyawaan Organik Kompleks Alamiah
Disamping golongan persenyawaan organik yang konstitusinya jelas, kadang-kadang dalam media kultur jaringan, juga ditambahkan persenyawaan yang kompleks yang dimaksud adalah: air kelapa, casein hydrolysate, ekstrak ragi, juice tomat, ekstrak kentang dan ekstrak pisang.
Air kelapa. Penggunaan air kelapa pertama kali dilaporkan oleh van Overbeek (1941 dalam Gunawan 1988) dalam kultur embrio Datura stramonium. Pada tahun-tahun berikutnya (1942 dalam Gunawan 1988). Gautheret menemukan bahwa air kelapa dapat digunakan untuk mempertahankan pertumbuhan jaringan yang diisolasi dari sumber yang berlainan. Pada tahun 1948, Caplin & Steward memperoleh pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media dengan 5 % air kelapa dan casein hydrolysate dari pada media dengan IAA.
Penelitian yang lebih mendalam, menemukan bahwa efek air kelapa pada pertumbuhan menjadi lebih baik, bila dalam media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa, dapat bersifat sinergis. Steward dan Caplin (1951 dalam Gunawan 1988) mendapatkan bahwa antara 2,4-D dan air kelapa terjadi reaksi sinergistik yang memacu pertumbuhan kalus Daucus carota.
Kelapa ‘Genjah’ hijau, air kelapa yang digunakan untuk tambahan media kultur yang bagus berasal dari kelapa muda yang berwana hijau.Namun tidak semua auksin dan air kelapa mempunyai kerja sama yang sinergis. Lin & Staba (1961 dalam Gunawan 1988) menemukan bahwa pada pertumbuhan kalus peppermint dan spearmint, penambahan air kelapa dalam media yang mengandung 2,4-D meningkatkan pertumbuhan kalus, sedangkan dengan 2-benzothiazoleoxyacetic acid, tidak.
Bahan-bahan yang terkandung dalam air kelapa, antara lain: asam amino, asam-asam organik, asam nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral, dan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang ditemukan dalam air kelapa antara lain :
i. 9-B-D ribofuranosyl zeatin ditemukan oleh Letham pada tahun 1968 (George & Sherrington, 1984).
ii. Zeatin (Zwar & Bruce, 1970 dalam George & Sherrington, 1984).
iii. N-N’-Diphenyl urea (Shantz & Steward, 1955 dalam George & Sherringtone, 1984).
iv. 2(3-methyl but-2-enylaming)-purin 6-one (Letham, 1982 dalam George & Sherrington, 1984).
Casein hydrolysate. Dalam media yang tidak mengandung ion ammonium, penambahan asam amino dapat memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis. sumber asam amino campuran yang relative murah adalah casein hydrolysat dan ekstrak ragi. Dalam kultur jagung, Green et al (1974 dalam Gunawan 1988) menemukan bahwa penambahan ekstrak ragi 800 mg/l atau casein hydrolysate 200 mg/l memperbaiki pertumbuhan kalus, walaupun dalam media sudah ada ion ammonium seperti media Linsmaier & Skoog.
Penambahan casein hydrolysate dalam media regenerasi padi, meningkatkan jumlah pucuk yang terbentuk dalam kalus padi. Dalam kasus padi ini, penambahan asam amino yang sama dengan sam amino dalam casein hydrolysate tidak menghasilkan pengaruh yang sama. Hal ini disebabkan ada persenyawaan lain yang penting dalam casein hydrolysate. Casein hydrolysate yang diberikan pada konsentrasi 200-300 mg/l (Inoue & Maeda, 1982 dalam George & Sherringtone, 1984).
Ekstrak ragi. Penggunaan bahan organik ini pada kultur jaringan dalam percobaan-percobaan awal seperti pertumbuhan akar. Ekstrak ragi juga menyumbangkan asam amino, peptida, vitamin, untuk pertumbuhan kultur. Konsentrasi yang digunakan dalam kultur berkisar antara 0.5 gram/l sampai 2 gram/l.Juice tomat dan ekstrak pisang, banyak digunakan untuk kultur embrio anggrek. Dalam perkembangan komposisi media, penambahan bahan-bahan yang underfined ini dihindarkan, karena bahan-bahan organic ini dapat berbeda bila varietas tanaman berbeda. Lingkungan tumbuh, nutrisi tanaman, dan sebagainya, mempengaruhi kandungan persenyawaan-persenyawaan tersebut. Hasil yang diperoleh di suatu saat, kadang-kadang tidak dapat diulangi lagi (unreproducable).Juice orange yang ditambahkan ke dalam media kultur, ternyata dapat memacu pertumbuhan eksplan dengan pesat pada beberapa jenis Citrus
Ekstrak kentang digunakan dalam kultur anther padi. Penambahan ekstrak kentang kedalam media, dengan nyata meningkatkan pertumbuhan kalus dan regenerasi anther beberapa jenis padi (Zhou et al, (1966 dalam Gunawan 1988). Ekstrak kentang biasanya digunakan setara 10-30 % dengan hasil terbaik 20 %. Tetapi tidak dijelaskan tentang kentang yang dipergunakan. Juice tomat, ekstrak pisang, dan ekstrak kentang. Bahan-bahan ini pada umumnya merupakan sumber gula, vitamin, zat pengatur tumbuh, dan asam amino.

Zat pengatur tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organic komplek alami yang disintesis oleh tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Level zat pengatur tumbuh endogen ini kemudian merupakan trigerring factor untuk proses-proses yang tumbuh dan morfogenesis. Selain auksin dan sitokinin, gliberelin dan persenyawaan-persenyawaan lain juga ditambahkan dalam kasus-kasus tertentu.

Auksin.
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang kalus, suspensi sel dan organ.
Pemilihan jenis auksin dan konsentrasi, tergantung dari :
1. Tipe pertumbuhan yang dikehendaki.
2. Level auksin endogen.
3. Kemampuan jaringan mensintesa auksin.
4. Golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.
Auksin alamiah adalah Indola Acetic Acid (IAA), Level auksin dalam eksplan, tergantung dari bagian tanaman yang diambil dan jenis tanamannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh musim dan umur tanamannya. Dalam kultur in vitro ada sel-sel yang dapat tumbuh dan berkembang tanpa auksin seperti sel-sel tumor. Sel-Sel ini disebut sel-sel yang habituated.
Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman diduga melalui dua cara :
1. Menginduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan K+ diambil dan pengambilan ini mengurangi potensial air dalam sel. Akibatnya air masuk ke dalam sel dan sel membesar.
2. Mempengaruhi metabolisme RNA yang berarti metabolisme protein, mungkin melalui transkripsi molekul RNA. Auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan tanaman tercantum di dalam tabel di bawah.
3. Memacu terjadinya dominansi apikal.
4. Dalam jumlah sedikit memacu pertumbuhan akar

Sitokinin.
Golongan sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin ada yang alamiah dan sintetis. Sitokinin yang pertama ditemukan, adalah kinetin yang diisolasi oleh. Skoog dalam laboratorium Botany di University of Wisconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang pembelahan sel dan differensiasi sel. Persenyawaan tersebut kemudian dinamakan kinetin. Fungsi sitokinin terhadap tanaman antara lain adalah:
1. Memacu terbentuknya organogenesis dan morfogenesis.
2. Memacu terjadinya pembelahan sel.
3. Kombinasi antara auxin dan sitokinin akan memacu pertumbuhan kalus.

Giberelin.
Penggunaan giberilin dalam kultur jaringan tanaman, kadang-kadang membantu morfogenesis. Tetapi dalam kultur kalus dimana pertumbuhan sudah cepat hanya dengan auksin dan sitokinin, maka penambahan giberelin sering menghambat. Pada umumnya giberelin terutama GA3 menghambat perakaran.
Pengaruh positif giberelin ditemukan dalam kultur bit gula, dimana GA3 merangsang pembentukan pucuk dari potongan inflorescence (Coumans et al., (1982 dalam Gunawan 1988). Pertumbuhan kultur pucuk kentang juga baik bila 0.10-0.10 mg/l GA3 dikombinasikan dengan 0.5-5.0 mg/l kinetin (Goodwin et al., (1980 dalam Gunawan 1988). Berat molekul GA3 346.38.
Secara umum fungsi geberelin antara lain adalah:
* Mematahkan dormansi
* Memacu perkecambahan.
* Memacu terjadinya proses imbibisi.

Zat Pengatur Tumbuh Yang Tidak Umum
Beberapa persenyawaan yang mempunyai sifat mengatur pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman misalnya: glyphosate (n-phosphonomethyl glycine) dapat digunakan untuk merangsang pucuk dalam kasus alfalfa bila ditambahkan bersama-sama auksin dan sitokinin (Winata dan Harvey, (1980 dalam Gunawan 1988). Dikegulac dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah pucuk dalam kultur sweet cherry (Snir, 1982 dalam George dan Sherrington, 1984).



Bahan pemadat
Agar
Bahan pemadat yang paling banyak digunakan adalah agar. Keuntungan dari pemakain agar adalah :
1. Agar membeku pada temperatur ≤ 45o C dan mencair pada temperature 100o C, sehingga dalam kisaran temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.
Agar merupakan campuran polisakharida yang diperoleh dari beberapa spesies Algae. Dalam analisa unsur diperoleh data, bahwa kandungan agar meliputi unsur Ca, Mg, K, dan Na dalam jumlah yang sedikit (Debergh, (1982 dalam Gunawan 1988). Kekentalan media pada umumnya meningkat secara linier oleh pertambahan konsentrasi agar. Kekentalan media juga dipengaruhi oleh :
i. Merek agar yang digunakan, merek agar yang berbeda, memberikan kekentalan yang sedikit berbeda walaupun beratnya sama.
ii. pH media.
iii. Penambahan arang aktif. Arang aktif 0.8-1 g/l menghambat pembekuan agar (Horner et al (1977 dalam George & Sherrington, 1984).
Dalam perbanyakan komersial dan percobaan-percobaan yang tidak dimaksudkan untuk mempelajari metabolisme sel, penggunaan agar murni bukan suatu keharusan mengingat harga agar murni sangat tinggi. Bahan-bahan yang tidak diinginkan dari agar, dapat dihilangkan dengan cara perendaman dalam aquadest selama 24 jam. Agar kemudian dibilas dengan ethanol dan dikeringkan dalam oven pada 60o C selama 24 jam.
Konsentrasi agar yang diberikan berkisar antara 0.6-1.0 %. Konsentrasi agar yang terlalu tinggi dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke arah eksplan sehingga pengambilan hara dan zat tumbuh berkurang, sedangkan zat penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan (Deberg, (1982 dalam Gunawan 1988).
Selain agar, akhir-akhir ini dikembangkan juga zat pemadat lain yang juga merupakan polisakharida, tetapi diisolasi dari mikroorganisme jenis yang lain. Gelrite yang diproduksi oleh Kelco, merupakan polisakharida yang dihasilkan dari bakteri Pseudomonas sp.
Beberapa sifat gelrite yang berlainan dengan agar adalah:
1. Gelrite membentuk gel yang lebih bening dari agar.
2. Untuk mencapai kekentalan gel tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah dari agar, pada umumnya konsentrasinya hanya 2 gram/l media, Namun kekentalan gel dari gelrite sangat dipengaruhi oleh kehadiran garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2, 6H2O dan CaCl2. Garam NaCl dan KCl menurunkan kekentalanan gel, tetapi MgCl2 dan CaCl2 meningkatkan kekentalan gel.

Arang Aktif (Charcoal)
Arang aktif atau charcoal adalah arang yang sudah dipanaskan selama beberapa jam dengan menggunakan uap atau udara panas (George & Sherrington, 1984). Bahan ini mempunyai sifat adsorpsi yang sangat kuat. Arang aktif dapat ditambahkan ke dalam media pada berbagai tahap perkembangan kultur. Bahan ini dapat ditambahkan pada media inisiasi, media regenerasi, atau media perakaran.
Penambahan arang aktif dapat membantu pertumbuhan perkembangan kultur, tergantung dari jenis kulturnya. Secara umum, pengaruh arang aktif adalah sebagai berikut:
1. Mengadsorpsi persenyawaan-persenyawaan toxic yang terdapat dalam media yang dapat menghambat pertumbuhan kultur, seperti :
a. Persenyawaan-persenyawaan fenolik dari jaringan yang terluka waktu inisiasi.
b. Persenyawaan 5-hidroksimetil furfural yang diduga terbentuk dari gula yang berada dalam larutan asam lemah dan mengalami pemanasan dengan tekanan tinggi (Nitsch et al, 1968 dalam Gunawan 1988).
2. Mengadsorpsi zat pengatur tumbuh sehingga:
i. Mencegah pertumbuhan kalus yang tidak diinginkan, seperti dalam androgenesis dan pucuk yang ingin diakarkan.
ii. Membantu embryogenesis kultur dalam media regenerasi tanpa auksin, mungkin dengan bertindak sebagai sink yang menarik auksin dari dalam sel sehingga embryogenesis dapat terjadi (Drew, (1979 dalam George & Sherringtone, 1984).
3.Merangsang perakaran dengan mengurangi tingkat cahaya yang sampai ke bagian eksplan yang terdapat dalam media. Arang aktif ditambahkan dengan konsentrasi yang bervariasi yakni 0.5-6 %, tergantung dari tujuan. Dalam media yang ditambahkan arang aktif, harus diusahakan agar arang aktif terbagi rata dalam media. Sesudah sterilisasi dalam autoklaf botol media harus sering dikocok sampai agar mulai membeku. Bila tidak diadakan pengocokan, maka hampir semua arang aktif berada di lapisan bawah media.

pH Media
Faktor penting lain adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor
1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media
2. Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain
3. Efisiensi pembekuan agar.
Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8 (Gamborg dan Shyluk, 1981). Tanaman Ericaceae seperti Rhododendron pengaturan pH, biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH) atau HCl pada waktu semua komponen sudah dicampur, beberapa saat sebelum disterilkan dengan autoklaf. Sekalipun media sudah ditetapkan, seringkali setelah sterilisasi pH-nya berubah. Pada umumnya terdapat penurunan pH setelah distrerilkan dalam autoklaf. Untuk mencapai pH sekitar 5.7-5.9, Nann dkk. (dalam George dan Sherrington, 1984) membuat pH 7.0 dalam media yang belum disterilkan.
Untuk menghindarkan perubahan pH yang cukup besar. Murashige dan Skoog menyarankan agar dilakukan pemanasan untuk melarutkan agar-agar dan memanaskan media didalam autoklaf selama beberapa menit, baru diadakan penetapan media disterilkan dalam autoklaf. Dalam wadah yang besar, media disterlkan dan kemudian dititrasi dengan NaOH/HCl steril sampai pH yang diinginkan. Setelah itu media dituang ke dalam wadah kultur steril yang telah dipersiapkan di dalam laminar air flow cabinet.



Buffer (chelating agent)
Penambahan asam amino seringkali juga bersifat sebagai buffer organik. Penambahan KH2PO4 sendiri tidak efektif sebagai buffer. Banyak peneliti terdahulu seperti Tausson dan Kordan (George & Sherringtone, 1984) menyarankan untuk menambahkan Fe SO4 dan Na-EDTA dalam media untuk bertindak sebagai buffer.




















BABA IV
STERILISASI MEDIA DAN ALAT-ALAT

Sterilisasi adalah salah satu prosedur yang digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme. Pemiliharaan suci hama dan penyakit (keaseptikan) atau kondisi steril sangat esensial untuk keberhasilan dalam prosedur kultur jaringan. Keadaan aseptis ini diperlukan untuk semua botol kultur yanga akan digunakan, media kultur, peralatan yang akan digunakan dalam kegiatan penanaman eksplan dan eksplan yang akan dikulturkan itu sendiri. Pemeliharaan kebersihan udara di dalam ruang kultur dan lantai kultur dari debu itu dua hal yang sangat penting dan harus tetap terjaga kebersihannya. Laminar Air Flow (LAF) harus tetap terjaga kebersihannya dan sebaiknya alat yang digunakan untuk kultur jaringan tanaman dan kultur mikrobiologi serta patogi terpisah. LAF yang digunakan oleh mikrobiologist dan patologist sebaiknya menggunakan LAF yang mempunyai arah blower dari atas ke bawah (aliran hembusan udara dari arah atas ke bawah) atau vertical airflow model sedangkan LAF yang digunakan untuk keperluan kultur jaringan mempunyai arah hembusan udara dari belakang ke depan atau horizontal airflow model
Salah satu faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur. Kontaminasi dapat berasal dari :
1. Eksplan, baik eksternal maupun internal.
2. Organisme kecil yang masuk ke dalam media. Dengan keadaan di Indonesia, yang paling sering menyebabkan kontaminasi adalah semut.
3. Botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril.
4. Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor (spora di udara).
5. Kecerobohan dalam pelaksanaan.
Berdasarkan perbedaan benda yang akan disterilkan, umumnya prosedur sterilisasi dapat dikelompokan dalam tiga kategori, yakni:
a. Sterilisasi lingkungan kerja.
b. Sterilisasi alat-alat dan media.
c. Sterilisasi bahan tanaman (eksplan).

a. Sterilisasi Lingkungan Kerja
Penanaman ekplan dan prosedur lain seperti isolasi protoplasma, sering kali dilakukan dalam kotak pindah steril atau dikenal dengan Laminar Air Flow cabinet. kotak pindah ini sudah disempurnakan dengan adanya aliran udara halus yang dihembuskan dari blower kira-kira 100 hembusan per menit, melalui suatu filter yang sangat halus sehingga mikrobia dapat tersaring olh adanya filter tersebut. Dengan demikian udara yang mengalir atau hembusan udara tersebut adalah udara steril yang dapat mencegah kontaminan yang berasal dari airborne selama kegiatan penanaman. Kotak pindah dengan aliran udara melalui suatu filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) dengan pori-pori < 0.3 um.
Dulu, kotak pindah ini tertutup bidang mukanya selama masa pelaksanaan dengan pembukaan seminimum mungkin, hanya tempat memasukkan tangan, kotak pindah semacam ini disebut dengan entkas. Entkas ini dapat dibuat dari kaca semua atau kayu dan bagian mukanya saja yang terbuat dari kaca. Di dalam kotak ini terdapat lampu germisida yang memancarkan radiasi ultraviolet untuk mensterilkan permukaan tempat kerja dalam kotak pindah ini. Disamping lampu ultra violet, kotak ini dapat juga disterilkan dengan penyemprotan alkohol 70% atau formalin tablet atau larutan formalin.
Sebelum mulai bekerja, permukaan tempat kerja dari laminar air flow cabinet dilap dengan kapas yang telah dicelup dalam alcohol 70% atau dalam larutan kaporit atau dapat juga disemprot menggunakan spiritus (untuk menghemat biaya). Ada juga tipe laminar air flow cabinet yang dilengkapi dengan lampu ultra violet. Sebelum kerja, lampu ultra violet dinyalakan selama beberapa waktu antara ½-1 jam untuk mematikan kontaminan di permukaan tempat kerja. laminar air flow cabinet harus dijaga dibersihkan dengan alkohol dengan menyalakan lampu ultra violet sebelum mulai bekerja atau sesudah melakukan kegiatan selama ½-1jam.

b.Sterilisasi alat-alat dan media.
Alat sterilisasi baik media maupun peralatan yang digunakan untuk proses isolasi dan penanaman eksplan yang sering digunakan adalah autoklaf. Tipe autoklaf yang dapat digunakan untuk sterilisasi ada bermacam-macam, mulai dari yang sederhana sampai digital (terprogram). Autoklaf yang sederhana menggunakan sumber uap dari pemanasan air yang ditambahkan ke dalam autoklaf. Pemanasan air dapat menggunakan kompor atau api Bunsen. Dengan autoklaf sederhana ini, tekanan dan temperatur diatur dengan jumlah panas dari api.
Kelemahan autoklaf ini adalah bahwa perlu penjagaan dan pengaturan panas secara manual, selama masa sterilisasi dilakukan. Tetapi autoklaf ini mempunyai keuntungan: sederhana, harga relatif murah, tidak tergantung dari aliran listrik yang sering merupakan problema untuk negara-negara yang sedang berkembang, serta lebih cepat dari autoklaf listrik yang seukuran dan setaraf.
Autoklaf yang lebih komplit menggunakan sumber energi dari listrik. Alatnya dilengkapi dengan timer dan thermostat. Bila pengatur automatis ini berjalan dengan baik. Maka autoklaf dapat dijalankan sambil mengerjakan pekerjaan lain. Kelemahannya adalah bila salah satu pengatur tidak bekerja, maka pekerjaan persiapan media menjadi sia-sia dan kemungkinan menyebabkan kerusakkan total pada autoklaf. Sebagai sumber uap, juga berasal dari air yang ditambahkan ke dalam autoklaf dan didihkan.
Untuk laboratorium komersial, diperlukan autoklaf dengan kapasitas besar dan sumber uap biasanya dari boiler yang terpisah. Autoklaf ini sangat cepat dan dapat diprogam waktu sterilisasi, serta waktu pendinginan. Setelah sterilisasi bahan atau alat selesai, temperatur dan tekanan autoklaf diturunkan secara perlahan-lahan dalam waktu 15-20 menit. Pada autoklaf yang programmable, panas ini diatur secara atomatis. Tetapi pada autoklaf yang sederhana hal ini harus diatur secara manual. Autoklaf
Pada prinsipnya, sterilisasi autoclave menggunakan panas dan tekanan dari uap air. Temperature sterilasi biasanya 121o C, tekanan yang biasa digunakan antara 15-17,5 psi (pound per square inci) atau 1 atm.
Lamanya sterilisasi tergantung dari volume dan jenis. Alat-alat dan air disterilkan selama 1 jam, tetapi media antara 20-40 menit tergantung dari volume bahan yang disterilkan. Sterilisasi media yang terlalu lama menyebabkan :
1. Penguraian gula.
2. Degradasi vitamin dan asam-asam amino.
3. Inaktifasi sitokinin zeatin riboside.
4. Perubahan pH yang berakibatkan depolimerisasi agar.
Autoklaf gas atau listrik portable pada umumnya mempergunakan sumber uap dari pemanasan air yang ditambahkan ke dalam autoklaf, sedangkan autoklaf besar pada laboratorium komersil pada umumnya menggunakan uap dari boiler sentral.
Bagian-bagian autoklaf :
1. Panci luar.
2. Panci dalam tempat meletakkan botol dengan alur tempat saluran uap.
3. Tutup beserta penunjuk tekanan dan saluran uap.
4. Katup pengeluaran uap.
5. Pengunci atau klem.
Sterilisasi Media Mmenggunakan Autoklaf Portable (Pemanasan menggunakan api)
1. Isi panci luar dengan air, kalau dapat dengan aquadest untuk menghindarkan pengendapan Ca yang biasa terdapat pada air ledeng, sebanyak 1 liter untuk autoklaf kecil, dan 1.5 liter untuk autoklaf besar.
2. Botol-botol media yang akan disterilkan, dimasukkan ke dalam panel-dalam. Susun botol-botol tersebut hingga mencapai permukaan panel.
3. Atur posisi panci dengan memperhatikan alur tempat saluran uap yang terdapat pada tutup dan lingkaran permukaan panci-luar .
4. Tutup dengan erat. (kencangkan pengunci tanpa menggunakan alat)
5. Biarkan katup pengeluaran uap dalam keadaan terbuka.
6. Letakkan autoklaf di atas kompor gas atau pembakar Bunsen.
7. Panaskan sampai air dalam autoklaf mendidih dan uap mulai keluar dari katup pengeluaran uap.
8. Biarkan uap keluar selama 5 menit (minimum), untuk mengeluarkan udara mengeluarkan udara yang terperangkap dalam autoclave.
9. Tutup katup pengeluaran uap.
10. Amati kenaikan temperature dan tekanan.
11. Setelah tekanan mencapai 15 psi, api kompor dikecilkan.
12. Jaga keadaan tekanan 15 psi ini dengan mengatur besar kecilnya api kompor secara manual. Selama sterilisasi, jangan meninggalkan autoklaf dan mengerjakan hal lain diruang lain, karena tekanan dapat meningkat sampai melewati batas. Keadaan ini berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan alat.
13. Setelah waktu sterilisasi tercapai, matikan api kompor.
14. Uap dikeluarkan sedikit-sedikit dengan mengatur katup pengeluaran uap (buka sedikit-sedikit). Jangan sekali-kali membuka katup dan membiarkan uap keluar sekaligus. Keadaan ini menyebabkan media atau air bubble up
15. Setelah tekanan turun sampai 0, buka pengunci dan keluarkan panci yang berisi media.

Sterilisasi Peralatan Kultur
1. Botol bersih diberi beberapa tetes aquadest dan tutup dengan kertas atau aluminium foil (jangan terlalu kencang bila menggunakan al-foil). Untuk botol-botol yang mempunyai tutup yang autoclaveable, jangan tutup terlalu kencang, karena selama pemanasan terjadi pemuaian.
2. Alat-alat yang perlu disterilkan sebelum penanaman adalah: pinset, gunting, gagang skalpel, kertas saring, petri-dish, botol-botol kosong, jarum dan pipet.
3. Alat-alat dan kertas saring dibungkus rapi dengan kertas tebal atau ditaruh dalam baki stainless steel dan bakinya dibungkus dengan kain tebal sebelum dimasukkan dalam autoklaf. Alumunium foil tidak direkomendasikan sebagai pembungkus, karena uap tidak dapat masuk ke dalam bungkusan. Alat-alat sektio seperti pinset, gunting, gagang skalpel, dan jarum, dibungkus dengan kertas kopi atau kertas merang. Hindarkan penggunaan Al-foil karena uap sukar masuk kedalam bungkusan sehingga sterilisasi kurang efektif.
4. Petri-dish akan disterilkan, juga dibungkus dengan kertas kopi atau kertas merang.
5. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi botol kultur kosong dan alat-alat yang akan digunakan untuk menanam eksplan, adalah 121o C pada tekanan 15 psi (pound per square inch) atau 1 atm selama 30-60 menit. Penghitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan dan temperatur yang diinginkan tercapai.
6. Alat-alat yang dipakai ketika penanaman, harus dalam keadaan steril. Alat-alat logam dan gelas dapat disterilkan dalam autoklaf. Alat tanam seperti: pinset dan gunting dapat juga disterilkan dengan pembakaran atau dengan pemanasan dalam bacticinerator. Khusus untuk skalpel, gagangnya dapat disterilkan dengan pemanasan, namun mata pisaunya (blade) dapat menjadi tumpul bila dipanaskan dalam temperature tinggi. Oleh karena itu untuk mata pisaunya dianjurkan cara sterilisasi dengan pencelupan dalam alkohol atau larutan kaporit.
c. Sterilisasi Bahan Tanaman
Problem terbesar yang dihadapi para tissue culturist adalah kontaminasi mikroba pada kultur (baik bakteri maupun jamur). Dua cara dapat dilakukan untuk mengurangi kontaminasi kultur.
Metode fisik
Metode fisik untuk ditujukan untuk mengatasi kontaminasi mikroba dimaksudkan untuk mengurangi ukuran populasi mikroba. Cara ini meliputi:
1. mengekspos tanaman induk dengan kondisi kekeringan selama 3 – 4 minggu sebelum mulai kultur jaringan. Tanaman diberi air yang cukup, dipupuk, dan diberi pestisida atau fungisida jika perlu. Kelebihan pengairan mesti dihindari. Tabel berikut memperlihatkan populasi organisme mikro pada bunga tomat yang dipelihara dalam kondisi yang berbeda.
2. Pada saat memulai kultur jaringan, tanaman dicuci bersih, dan bagian yang tidak akan dikulturkan segera dibuang. Pembersihan meliputi pencucian, penggosokan yang merata untuk membuang semua partikel tanah dan daun mati. Termasuk juga membuang sebagian besar daun, karena kebanyakan daun tidak digunakan dalam kultur.
3. Bahan tanaman kemudian dicuci dibawah air mengalir selama 20 menit, sampai beberapa jam, tergantung sumber bahan tanaman. Ini sama artinya dengan membuang jutaan mikroba ke drainase.
Tabel 11.1. Rata – rata jumlah mikroorganisme per bunga Tomat (de Fossard 1976).
Sumber bunga Non-disinfested Disinfested* % kontaminasi pada kultur setelah sterilisasi
Lapang 1.300.000 92.000 100
Rumah kaca 85.520 1.600 60
Phytotron 90 43 30
Ket:*Tanaman disterilisasi dengan jeruk nipis yang diklorinasi dengan 5% (w/v) selama 20 menit.
Metode Kimia
Ini dapat dilakukan dengan larutan sodium hypochlorite (NaOCl). Kebanyakan lab menggunakan bleach (pemutih) seperti Bayclin, yang mengandung 4% chlorine tersedia. 25 mL Bayclin yang dibuat menjadi 100 mL dengan penambahan air destilata akan memberi konsentrasi 1% chlorine tersedia. Karena kemurniannya, hypochlorite memiliki aktivitas yang kecil pada pH melebihi 8.0 dan akan lebih efektif jika pH diatur menjadi sekitar 6.0 dengan penambahan HCl (Behagel, 1971). Untuk meningkatkan kesuksesan menggunakan chlorine, langkah berikut semestinya diikutsertakan:
1. Tambahkan deterjen ke larutan kloringe, misalnya beberapa tetes Tween 20 atau Triton
2. Berikan sedikit tekanan pada perlakuan chlorine. Ini dapat dilakukan dengan desikator vakum yang disambungkan ke air atau pompa tipe lain.
3. Goyang – goyangkan (agitasi) larutan klorine secara manual atau dengan menggunakan shaker selama periode disinfestasi.
Semua teknik tersebut akan meningkatkan kontak tanaman dengan larutan klorine. Lama perlakuan dengan larutan klorin yang diperlukan akan berbeda – beda, tergantung tipe dan sensitivitas bahan tanaman.


Kontaminan endogenus – penggunaan antibiotik
Larutan klorin dapat membunuh mikroorganisme eksternal, namun tidak dapat mematikan mikroorganisme internal (endogenus) dalam jaringan tanaman. Beberapa lab menggunakan antibiotik untuk membunuh kontaminan endogenus. Meskipun antibiotik rutin digunakan dalam kultur jaringan hewan, penggunaannya pada kultur jaringan tanaman kurang berhasil. Tidak ada antibiotik yang efektif untuk membunuh semua mikroorganisme penyebab kontaminasi. Antibiotik dan produk turunannya dimetabolisme oleh jaringan tanaman dengan hasil yang tidak dapat diperkirakan. Menurut pandangan Taji et al. (1997), penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari. Adalah berbahaya untuk mengembangkan system kultur jaringan yang berdasarkan pada penambahan antibiotik ke dalam media, berdasarkan alasan – alasan berikut :
1. Tanaman yang dihasilkan mungkin masih memiliki endogenus kontaminan
2. Dengan penggunaan antibiotik spesifik, seseorang dapat menghasilkan mutan tertentu, tapi tidak dapat dikontrol dengan produk spesifik ini
3. Kontaminan non-patogenik dapat menjadi patogenik, bisa karena mutasi atau fisik. Sesungguhnya, bakteri non-patogenik tanpa kompetisi dari bakteri lain dapat menjadi ganas
4. Problem kamuflase in vitro bisa menjadi problem utama di kemudian hari pada kultur (misalnya layu bakteri atau spot)
5. Kontaminasi bakteri dapat menjadi problem pada akhir proses perbanyakan mikro, misalnya sulit menghasilkan akar pada tunas yang terkontaminasi.

Menyembuhkan kultur yang terkontaminasi
Kultur yang telah terkontaminasi dapat diselamatkan dengan metode berikut:
1. Buka wadah yang berisi kultur terkontaminasi dan isi penuh dengan larutan 0.5 – 1% w/v sodium hypochlorite
2. Biarkan selama 1- - 50 menit tergantung pada keganasan kontaminasi atau sensitivitas bahan tanaman
3. Keluarkan kultur dari larutan kloring, potong bagian dasar dan buang daun –daun yang berlebihan
4. Transfer ke media kultur yang baru
Pilihan opsional, eksplan dapat dicuci dengan air steril atau diperlalukan dengan satu seri sodium hypochlorite encer, misalnya 1% → 0.5% → 0.25% → 0.1% dan ditanam tanpa pembilasan dengan air steril lagi. Ini berarti tanaman yang ditanam kembali ke kultur mengandung sedikit klorine. Ini akan berguna pada kultur yang terkontaminasi berat, tapi hanya tanaman yang tahan klorin dapat diperlakukan dengan cara ini.
Dengan metode tersebut, kultur yang terkontaminasi, daunnya mungkin sangat dipengaruhi oleh bleach. Kultur ini akan segera membaik dan tumbuh. 50% penyembuhan dari kultur Melaleuca alternifolia berhasil diperoleh dari kultur yang sangat terkontaminasi (Taji et al., 1997).



BAB V
TIPE – TIPE KULTUR JARINGAN

5.I Kultur Organ
Teknik kultur jaringan semakin berkembang dan popular sebagai salah satu alternatif dari propagasi tanaman vegetatif. Teknik ini meliputi metode propagasi aseksual dan tujuan utamanya adalah membuat tanaman lebih unggul. Kesuksesan dari beberapa seleksi in vitro dan manipulasi genetic pada tanaman tingkat tinggi tergantung pada kesuksesan dari regenerasi tanaman in vitro.Keberhasilan pertama dalam kultur in vitro dicapai dalam praktek kultur organ. Menurut Shabde – Moses & Murhasige (1979), Hannig, pada tahun 1904 telah berhasil mendapatkan kecambah tanaman jenis crucifer dari embrio-embrio yang diisolasi dari biji yang belum matang (immature). Pertumbuhan organ yang tidak terbatas didalam kultur in vitro, pertama diperlihatkan oleh White dalam kultur akar tomat sekitar tahun 1934.
Kultur organ merupakan topik yang penting dalam penelitian antara tahun 1940-1960. Setelah itu penalitian dalam bidang ini berkurang, kecuali kultur pucuk/meristem. Kultur pucuk atau maristem mempunyai aspek praktis sebagai cara perbanyakan klon yang cepat dan bebas penyakit. Dewasa ini kultur maristem sudah merupakan tindakan komersial yang dikelola oleh perusahaan –perusahaan pembibitan.
Disamping kultur pucuk, pada tahun 60 an, kultur akar mendapat perhatian lagi pada beberapa tanaman tertentu sehubungan dengan tujuan produksi bahan sekunder, terutama untuk jenis-jenis persenyawaan yang berasosiasi dengan akar. Namun kultur akar yang pertumbuhannya tidak terbatas tersebut, dewasa ini pada umumnya dipusatkan pada hasil transformasi dengan Agrobacterium rhizogenes yang merupakan kultur auksin autotroph.
Secara keseluruhan kultur organ dalam ilmu fisiologi dipergunakan dalam studi diferensiasi dan fungsi dari jaringan-jaringan khusus. Kebutuhan nutrisi dan lingkungan, dapat dieksplorasi antara lebih tepat dalam kultur in vitro. Organ-organ tanaman yang sering digunakan sebagai eksplan tergangtung dari jening tanamannya, organ tersebut antara lain adalah:
 Jaringan meristem,
 Helaian daun,
 Pucuk,
 Tuber rhizogenum
 Pucuk kormus,
 Tuber caulogenum
 Buku kormus,
 Inflorescentia,
 Buku bulb
 Mata Tunas samping
 Buku batang tunggal,
 Hipokotil dan epikotil
 Ruas batang muda,
 Akar





No Nama Tanaman Eksplan Hasil
1 Begonia sp. Helaian daun Multiplikasi pucuk
2 Coleus parviflorus daun Multiplikasi pucuk
3 Gardenia sp. Hypantium (dasar bunga) Multiplikasi pucuk
4 Musa sp. Inflorescentia
Pucuk kormus Multiplikasi pucuk
5 Amorphophallus sp. Buku kormus pucuk
6 Dioscorea alata Pucuk
Buku bulbil Multiplikasi pucuk
7 Dioscorea microstachya Buku batang Multiplikasi pucuk
8 Manihot esculenta Jaringan meristem Tanaman bebas virus
9 Ipomoea batatas Jaringan meristem Tanaman bebas virus

Tabel Spesies dan organ tanaman serta teknik kultur jaringan yang digunakan


















Gambar Jaringan dan organ tanaman berbiji; B. Penampang melintang batang; C. Penampang menintang akar. Pucuk/ tunas apikal an terminal sangat bagus untuk sumber eksplan (sumber Taji, Kumar & Lakshmanan, 2002).


5.2 Kultur Haploid
Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan gametofitik dalam sporofitik (Bajaj, 1983). Frekuensi terjadinya haploid spontan di alam masih sangat rendah , yakni sekitar 0,001-0,01%. Produksi haploid yang spontan biasanya terjadi melalui proses partenokarpi dari telur yang tidak dibuahi atau apomiksis.
Dalam percobaan-percobaan terdahulu (sebelum tahun), haploid diperoleh melalui:
1. Hibridisasi jenis tanaman yang berada (distant hybridization).
2. Polinasi tertunda (delayed pollination).
3. Penggunaan polen yang sudah di-radiasi.
4. Perlakuan hormon.
5. Shock dengan temperatur tinggi.
Revolusi dalam produksi tanaman haploid terjadi pada tahun 1064-1966, semenjak dihasilkannya tanaman haploid dari Datura innoxia oleh Guha dan Maheswari. Tanaman dihasilkan melalui kultur anther dengan proses androgenesis. Haploid pada tanaman dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Monoploid : jumlah khromosom setengah dari kromosom spesies yang diploid.
2. Polihaploid: jumlah kromosom setengah dari kromosom spesies yang poliploid.

Kegunaan haploid dalam pemuliaan tanaman:
1. Tanaman haploid dapat digunakan untuk mandeteksi mutasi dan rekombian yang unik.. Mutasi yang resesif tidak muncul dalam keadaan diploid. Contohnya pollen dari hibrida antara MC-160 dan Coker-139 yang ditumbuhkan dihasilkan lini-lini tanaman baru yang menunjukkan resistensi terhadap penyakit layu bakteri dan Black Shank yang lebih tinggi. Lini baru ini tidak kehilangan sifat unggul MC-1610 (Gunawan, 1988).
2. Penggandaan jumlah kromosom akan diperoleh tanaman homozigot. Tanaman homozigot sangat penting untuk menghasilkan hibrida terkendali, seperti tanaman Asparagus. Tanaman Asparagus officinale merupakan tanaman dioeceous yang menghasilkan bungan betinan dan bunga jantan pada tanaman yang berlainan. Tnaman jantan lebih disukai konsumen karena produksi eebungnya lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik. Usaha penyilangan ditujukan untuk menghasilkan biji yang menjadi tanaman jantan (XY). Hibrida XY diperoleh dengan menyilangkan tanaman jantan XY dengan betina XX dengan hasil XY: 50%. Melalui kultur anther, diperoleh tanaman XY, yang disebut super male. Penyilangan super male YY dengan betina XX, akan menghasilkan progeni yang 100%.

Teknik mendapatkan tanaman haploid secara in vitro

1. Kutur anther
 Keuntungan:teknik isolasinya lebih mudah, dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah kromosom yang bervariasi (n, 2n dan 3n).
 Kerugian : Tanaman yang diperoleh bermacam-macam karena kemungkinan tanaman tersebut berasal dari jaringan lain seperti jaringan tapetum (3n), atau jaringan penyambung (conective tissue), sehingga masih perlu tahapan seleksi.


2. Kultur Polen
Keuntungan: *Kepastian haploid yang lebih tinggi.
*Perkembangan androgenesis dapat diikuti.
*Studi tranformasi dan mutagenesis, baik kimia maupun fisik, mudah dilakukan karena polen terdiri dari sel tunggal.
Kerugian : Keberhasilan masih rendah.

3. Kultur Ovule

1. Kultur Anther
eberhasilan kultur anther telah diujudkan pada tanaman seperti Datura innoxia, nicotiana tabacum, karet, poplar, anggur, tanaman Gramineae serta pada tanaman angrek. Teknik kultur anther relatif sederhana dan efisien yang paling pentingadalah kritis dalam penentuan tingkat perkembangan pollen (androgenesis) yang tepat pada anther yang akan dijadikan eksplan.
Secara praktis tingkat perkembangan pollen dapat ditentukan berdasarkan pengambilan contoh beberapa tingkat perkembangan kuncup bunga. Tingkat perkembangan androgenesis pollen uninucleat paling sesuai bila digunakan sebagai eksplan.
Media dasar yang digunakan untuk tanaman dikotil, umumnya adalah media MS, media White dan media Nitsch &Nitsch, dengan berbagai modifikasi dengan penambahan sukrosa sekitar 20-40 gram/liter. Zat Pengatur Tumbuh diberikan dalam konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari terbentuknya kalus dari jaringan-jaringan diploid yang tidak diinginkan. Untuk mendapatkan double haploid dipergunakan larutan colchicine: 0,5% dengan waktu perendaman 24-28 jam.
Tanaman monokotil terutama tanaman Gramineae seperti padi, media MS juga dapat digunakan. Tetapi selain MS, dikembangkan juga beberapa media lain misalnya media N6. Media N6 mempunyai ciri perbandingan NH4+ dan NO3_ yang jauh perbedaannya. Ammonium yang diberikan dalam bentuk (NH4)2SO4 hanya sebanyak 363 mg/l, sedangkan KNO3 : 2830 mg/l. Khusus untuk padi, ada beberapa media lain yang dikembangkan di Cina, sesuai dengan kultivar padinya, misalnya media SK3, He5 dan LB.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi haploid melaui kultur in vitro adalah:
1. Tingkat Perkembangan Pollen pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang tertinggi diperoleh pada kultur anther dengan pollen yang nukleusnya terletak di pinggir sel (mid-uninucleate microspore stage). Pembentukan terbentuknya kalus pada berbagai stage adalah sebagai berikut:
 5.6% kultur membentuk kalus pada early-uninucleate stage, yaitu sesudah tetrad terbentuk.
 35,7% kultur membentuk kalus pada mid-uninucleate stage.
 10.5% pada saat late-uninucleate stage.
 6.7% pada saat mitosis pertama dari pollen.
 0% pada saat polen mencapai bi-nucleat stage.
2. Perlakuan fisik sebelum inokulasi Perlakuan temperatur rendah sebelum inokulasi, meningkatkan keberhasilan kultur anther dalam: Nicotiana tabacum, Datura innoxia, Hyosciamus niger, Hordeum vulgare dan Oryza sativa. Pada umumnya, temperatur antara 3-10oC. Bila dipergunakan temperatur rendah 3-5oC, maka waktu perlakuan dapat dipersingkat, sedangkan pada terperatur rendah 10-15 oC, waktu perlakuan lebih panjang. Percobaan Wang dan grupnya (Chen, 1986) dalam kultur padi hsien menunjukkan:
 Bila temperatur 3-5 oC, dibutuhkan 10 hari.
 Bila temperatur 6-8 oC, dibutuhkan 15 hari.
 Bila temperatur 9-10 oC, dibutuhkan 20 hari.
3. Perlakuan kimia sebelum inokulasi Anther yang dikultur dalam media cair yang ditambah dengan 50-250 mg/l colchisine selama 4 hari, meningkatkan frekuensi pembentukkan kalus dan diferensiasi. Colchicine dapat meningkatkan tanaman double haploid hingga 79%, sedangkan anher tanpa perlakuan pendahuluan, hanya menghasilkan 53,8% tanaman. Jika konsentrasi colchicine ditingkatkan hingga 500 mg/l akan mengakibatkan frekuesi tanaman anakan yang abnormal seperti albino akan meningkat. Selain senyawa tersebut senyawa ethrel juga sering digunakan untuk praperlakuan pada media cair + 5 g/l ethrel (Gunawan, 1988).
4. Media tumbuh
 Komposisi media dasar tidak begitu kritis, namun dalam kultur anther, NH4+ yang tinggi (35mM) akan menghambat pembentukan kalus.
 Sukrosa yang diberikan, berkisar 2-12%. Pada serealia digunakan 6-9%, sedangkan pada tanaman diploid 2-4%.
 Zat Pengatur Tumbuh pada kultur anther Solanaceae tidak diperlukan cukup media dasar N6. ZPT yang biasa digunakan untuk memacu pertumbuhan embriogenesis pada kultur anther adalah senyawa TIBA (Tri iodobenzoic acid). Disamping itu penambahan 2 mg/l 2,4D pada media dasar digunakan untuk kultur anther padi, dan kombinasi ZPT: 4 mg/l NAA + 1 mg/l 2,4D dan 1-3 mg/l kinetin sering ditambahkan pada media dasar untuk kultur anther.
 Penambahan bahan-bahan organik seperti: ekstrak pisang, air kelapa, ensdosperm serealia, ekstrak ragi, alanin, folic acid dan Co-enzym A, dapat memacu pertumbuhan pada kultur anther.
 Penambahan 2% arangaktif dapat memperbaiki androgenesis.
5. Genotipe tanaman donor
Tidak semua kultuvar dari setiap tanaman organ anthernya dapat menghasilkan tanaman haploid, seperti kultivar dari Lycopersicon esculentum dari 43 kultivar hanya 3 kultivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan. Triticum aestivum hanya 10 kukltivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan menjadi tanaman haploid dari 21 kultivar yang ada.
6. Kondisi Tanaman Donor
 Umur fisiologi tananam donor ternyata dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman enther. Bunga dari tanaman muda pada saat permulaan pembungaan, ternyata lebih baik dari pada bunga yang keluar kemudian.
 Kondisi nutrisi tanaman donor: tembakau yang diberikan perlakuan larutan Hoagland selama 2 minggu, mempunyai bunga dengan vigor yang lebih baik.
 Temperatur waktu menumbuhkan tanaman donor. Contohnya pada tanaman Datura, tanaman donor yang ditumbuhkan pada suhu 24oC frekuensi terjadinya androgenesis sebesar 45% dan bila tanaman donor ditumbuhkan pada temperatur 17 oC, frekuensi tumbuhnya turun menjadi 8%.
 Cahaya selama pertumbuhan tanaman donor. Triticum aestivum yang ditumbuhkan di lapangan dengan cahaya yang penuh, menghasilkan kultur anther yang lebih baik dari tanaman yang ditumbuhkan di rumah kaca pada musim dingin dengan penyinaran yang kurang.

2. Kultur serbuk sari (Pollen Culture)
Pollen (mikrospora) merupakan sel tunggal dan haploid dari sel kelamin jantan. Pollen ini baik bila digunakan untuk diinduksi mutasi dan manipulasi genetik lain.Kultur pollen pertama kali yang berhasi pada tanaman Datura innoxia dan Nicotiana tabacum. Disausul kemudian pada tanaman Solanaceae. Pada tahun 1974, Nitsch mengembangkan kutur terapung (Floating culture) menggunakan media cair. Setelah itu pollen diletakkan di permukaan media cair selama 2-3 hari. Setelah itu pollen ditekan keluar dan media disaring dengan filter berukuran 25-100 mm tergantung dari jenis. Suspensi kemudian dicentrifuge dan dicuci dengan larutan media. Setelah dicuci disuspensikan kembali ke dalam media baru. Suspensi dipipet dan dipindahkan ke media padat dalam petri-dish.
Dalam metode ini kuncup bungan yang sudah diberi praperlakuan suhu rendah, diisolasi anthernya . Anther kemudian diapungkan dimedia cair. Beberapa hari kemudian, anther terbuka (dehiscent) dan melepaskan pollen ke dalam media.Pada kultur anther padi setelah 10 hari setelah inokulasi pada media cair, massa sel mendesak keluar dari dinding pollen. Setelah beberapa hari kalus putih mulai terlihat. Regenerasi kalus pada mulanya lebih rendah dari yang di media padat, tetapi setelah medianya diperbaiki dengan penambahan asam amino dan 20% ekstrak kentang, kemampuan regenerasi meningkat.

1. Media
Media dasar yang digunakan untuk kultur pollen Solanaceae adalah media Nitsch dengan penambahan Sukrosa 20 gram, 5 gram Myo-inosital , Glutamin 500 gram dan serin 30 mg, pH 5,8.

2. Bahan Tanam
 Pollen diambil dari kuncup bunga yang masih muda, diperiksa tingkat perkembangan androgenesi.
 Tingkat perkembangan pollen dari kuncup bunga diperiksa terlebih dahulu.
 Kuncup bunga disterilisasi seperti pada kultur anther.
 Bunga yang telah disterilisasi diberi praperlakuan suhu antara 5-10oC selama 10- hari.
 Bunga dicuci dengan aquadest steril sebelum digunakan.
 Kelopak bunga dan mahkota bunga, dibuka dengan hati-hati diisdolasi.

3. Penanaman
 Anther dimasukkan ke dalam media cair dan dibiarkan terapung selama 4 hari pada temperatur 27 oC.
 Setelah 4 hari, anther ditekan ke dinding botol kultur menggunakan batang gelas steril.
 Saring media dan polen dengan filter 20 mm untuk tomat dan 40 mm untuk tembakau.
 Centrifuge dengan 500-800 rpm selama 5 menit, pelet yang diperoleh, dicuci menggunakan media baru.
 Ulangi pekerjaan tersebut sekali lagi, pelet disuspensikan ke dalam media baru dengan ukuran volume tertentu.
 Suspensi kultur pollen diambil setetes diperiksa kepekatan selnya dengan menggunakan haemacytometer.
o Jumlah pollen yang berada di dalam 64 bidang dari haehacytometer dihitung jumlah pollen rata-rata / 0,25x0,25 mm bidang.
o Konversikan ke jumlah pollen/ml. Tiap bidang 0,25x0,25 mm. Volume 6.25x10-6 ml.
o Suspensi diencerkan hingga kerapatan pollen 103-104 /ml.
o Suspensi pollen diambil menggunakan pipet sebanyak 5-10 ml dipindahkan pada petri-dish diameter 9 cm yang telah berisi media isolasi pollen.
o Kultur pollen diletakkan pada rak inkubator yang diberi cahaya lemah 500 lux dengan temperatur 25oC.

Teknik di atas dimodifikasi oleh Nitsch menjadi:
o Anther dikultur terus di dalam media cair sampai dehiscent.
o Polen yang ditaburkan di atas media akan tumbuh, tergantung pada media dan jenis pertumbuhannya, melalui kalus atau embrio.
o Pada kultur serealia, kalus terbentuk seteleh dipindah ke media diferensiasi.
o Media yang digunakan untuk menanam pollen padi adalah 1500 mg/l KNO3, 100 mg/l Ca(NO3)2.4H2O, ekstrak kentang 20 % dan untuk media diferensiasi adalah media MS + 2 mg/l kinetin + 1 mg/l IAA + 3 % Sukrosa dan 0,57% agar.

3. Kultur bakal buah (Ovule culture)
Pada tahun 1920 telah ditemukan terjadinya partenokarpi spontan di dalam sel telur. Penemuan ini memacu para peneliti untuk mengembangkan kultur ovul pada tahun 1950-1960, akan tetapi hasilnya belum memuaskan.Pada tahun 1970-an, beberapa hasil penelitian tentanbg kultur ovul muda yang belum dibuahi, dipublikasikan, antara lain:
a. Kultur ovul Solanum melongena (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al, 1986).
b. Zea mays (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al,1986).
c. Gossypium hirsutum (Jenson et al, 1977).
Pada dekade berikutnya tahun 1980-an, terdapat beberapa penelitian lagi:
a. Gerbera jamesomii (Sitpon, 1980; 1981).
b. Nicotiana tabacum (Ran, 1980 dalam Yang et al, 1986).
c. Helianthus annus (Yang et al, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur ovul. Sebagian faktor-faktor yang ditemukan, merupakan faktor-faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan kultur polen; tetapi ada juga yang tidak serupa. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Genotipe Tanaman Donor.
Dari 19 varietas padi, terdiri dari 15 varietas japonica dan 4 varietas dari Indica. Dari kelompok japonica, frekuensi gynogenesis berkisar antara 1,1-2,8%. Frekuensi keberhasilan japonika dan Indica dalam gynogenesis ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan kemampuan androgenesis dari kelompok varietas tersebut.

b. Tingkat Perkembangan Kantong Embrio.
Tingkat perkembangan embrio yang optimal adalah pada saat akhir uninukleat sampai awal tetranukleat. Keadaan ini sukar siamati, tetapi dapat disejajarkan dengan tingkat akhir uninukleat dan awal binukleat dalam pollen.

c. Perlakuan Temperatur Rendah
Perlakuan suhu 12-13oC selama 6 hari sesudah ovari/ovul ditanam, meningkatkan frekuensi gynogenesis. Akan tetapi perlakuan temperatur rendah bukan merupakan faktor kritis.

d. Bagian-bagian Bunga.
Bagian-bagian bunga berperan dalam mengirimkan bahan-bahan nutrisi dan bahan aktif lain ke bagian ovul. Hal ini terbukti bahwa bagian-bagian bunga seperti pedicle, calyx atau glume memegang peranan penting. Inokulasi bunga utuh (dengan pistil, stamen, receptacle) menunjukkan hasil terbaik, bila stamen dibuang juga masih menunjukkan hasil yang baik, sedangkan bila hanya bagian pilstil saja yang ditanam maka tidak ada respon yang diperoleh.

e. Bentuk Fisik Media
Media cair lebih mendukung gynogenesis dalam kultur ovul dibandingkan dengan media padat. Hasil ini serupa dengan hasil yang diperoleh dalam kultur anther.
f. Zat Pengatur Tumbuh
Untuk kultur ovul padi media induksi :Media dasar + 0,125-0,5 mg/l MCPA (2-methyl-4-chlorophenoxy acetid acid + 0,125-0,5 mg/l Picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid + 3-6% sukrosa.

Media diferensiasi:
Media dasar + 2 mg/l kinetin + 0,5 mg/l IAA atau + 0,25 mg/l NAA + 3-6%.
Media perakaran:
Media dasar + 0,5 mg/l IAA + 1,5% sukrosa + 0,1% arang aktif.

5. 3 Kultur Kalus
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auxin dan sitokinin endogen (Dodds & Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut tumor.Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus.
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambel, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, kuning kejingga-jingaan (karena adanya pigmen antosianin ini terdapat pada kalus kortek umbi wortel).
Dalam kultur kalus, kalus homogen yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur sel Agave dan Rosa (Narayanaswany (1977 dalam Dodds & Roberts, 1983). Untuk memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan eksplan jaringan yang mempunyai sel-sel yang seragam. Dalam pertumbuhan kalus, citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis, sel gabus, sel sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses hitogenesis dari kultur kallus. Anaman kecil dari pembelahan sel-sel membentuk meristemoid atau nodul vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal, primordial akar atau embrioid.
Pada umumnya untuk eksplan yang mempunyai kambium tidak perlu penambahan ZPT untuk menginduksi terbentuknya kalus karena secara alamiah pada jaringan berbambium yang mengalami luka akan tumbuh kalus untuk menutupi luka yang terbuka. Namun pada jkasus lain, menurut Kordan (1959 dalam Dodds & Robert, 1983) keberadaan kambium di dalam eksplan tertentu dapat menghambat pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen. Penambahan ZPT tersebut dapat satu macam atau lebih tergantung dari jenis eksplan yang digunakan. Pembelahan sel di dalam eksplan dapat terjadi tergantung dari ZPT yang digunakan, seperti: 1) auxin; 2) sitokinin; 3) auxin dan sitokinin dan 4) ekstrak senyawa organik komplek alamiah.

Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus, jaringan tanaman digolongkan dalam 4 kelompok:
a. Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-garam mineral untuk dapat membentuk kalus seperti: umbi artichoke.
b. Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam-garam mineral seperti: empulur tembakau.
c. Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam-garam mineral seperti: jaringan kambium.
d. Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan garam-garam mineral seperti parenkim dan xylem akar turnip.

Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung juga dari:
 Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
 Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
 Bagian tanamn yang dipakai.
 Jenis tanaman.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman yang menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, Gymnospermae, pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus.Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap quiscent.

Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah:
a. Ketersesediaan oksigen yang lebih tinggi.
b. Keluarnya gas CO2.
c. Kesediaan hara yang lebih banyak.
d. Penghambat yang bersifat folatik lebih capat menguap.
e. Cahaya.
Dalam mempelajari proses pembentukan kalus sebagai akibat perlakuan, empat lapisan sel yang berbeda dalam wortel yang dikultur pada berbagai media.

Lapisan-lapisan sel yang berbeda terlihat jelas tiga hari setelah kurtur terdiri:
a. Lapisan luar dengan sel-sel yang pecah.
b. Lapisan kedua terdiri dari dua lapisan sel dorman.
c. Lapisan dengan sel yang aktif membelah, terdiri dari 1-6 lapis.
d. Lapisan tengah (core) yang sel-selnya tidak membelah.
Induksi kalus dalam jaringan wortel ini, disertai dengan aktifitas enzim-enzim NAD-diaphorase succinic dehydrogenase dan cytochrome oxidase yang meningkat. Kenaikan aktifitas enzim terutama dalam lapisan sel yang sedang membelah. Dalam jaringan ini juga ditemukan aktifitas asam fosfatase. Padfa kultur artichoke, enzim fosfatase diditeksi pada permukaan sel-sel yang tidak membelah. Menurut hipotesa Yeoman pada tahun 1970, asam fosfatase berhubungan dengan sel rusak dan enzim ini adalah index autolysis sel. Pada sel yang rusak tapi tidak pecah di lapisan perisfer, terjadi autolisis dan sel-sel yang rusak tersebut mengeluarkan persenyawaan yang dapat memacu pembelahan sel di lapisan berikutnya.
Eksplan batang, akar dan daun menghasilkan kalus yang heterogen dengan berbagai macam sel. Kadang-kadang jaringan yang kelihatannya seragam histologinya seperti pembuluh tembakau, ternyata menghasilkan kalus dengan sel yang mempunyai DNA yang berbeda yang mencerminkan level ploidi yang berbeda. Begitupun pada kultur akar kalus yang dihasilkan dapat berupa campuran sel dengan tingkat ploidi yang berbeda.
Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang komplek menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat khusus. Hal ini berarti bahwa media tumbuh menentukan komposisi kalus. Sel yang jumlahnya paling banyak merupakan sel-sel yang paling cepat membelah dan sel yang paling sedikit adalah sel yang paling lambat pertumbuhannya. Media seleksi dapat berdasarkan unsur-unsur hara atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media.
Sel heterogen berasal dari materi asal yang heterogen pula, atau dapat terjadi karena massa kultur yang panjang melalui sub kultur yang berkali-kali. Perubahana yang terjadi dapat merupakan:
 Aberasi kromosom
 endo-reduplikasi yang menghasilkan poloploidi
 Amplifikasi gen: jumlah gen untuk suatu sifat tertentu per genome haploid bertambah.
 Hilangnya suatu gen (deletion)
 Mutasi gen.
 Transposisi urutan DNA (DNA sequences transposition).
Kecepatan perubahan-perubahan dalam kromosom ini, tergantung juga dari macam media yang digunakan, serta jenis tanamannya. Ketidak-stabilan kromosom ini menyulitkan aplikasi kultur kalus untuk perbanyakan maupun untuk produksi bahan-bahan/ persenyawaan sekunder. Sebaliknya ketidak-stabilan tersebut dapat dipergunakan dalam seleksi dan pemuliaan in vitro, untuk memperoleh sifat-sifat baru yang menguntungkan seperti resistensi terhadap penyakit, hilangnya morfologi yang memang tidak diinginkan seperti duri atau warna pada bunga.
Kalus yang tumbuh secara in vivo pada batang tanaman biasanya disebut dengan tumor, ciri-ciri tumor adalah sebagai berikut:
 Terjadi penyakit yang infeksinya melalui luka (Crown gall disease).
 Jaringan tumor yang terjadi dapat tumbuh terus, walaupun penyebabnya yang berupa bakteri Agrobacterium tumefacien telah dihilangkan.
 Tumor ini bila ditumbuhkan pada media buatan tidak memerlukan auksin maupun sitokinin. Ketidak-tergantungan jaringan tanaman untuk tumbuh dan terus membelah disebut habituation.
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap, akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air dapat terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media menguapkan air dari masa ke masa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara, kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan, kalus yang dihasilkan perlu disubkulturkan.
Street (1969 dalam Dodds & Robert 1983) menyarankan massa sel yang dipindahkan pada subkultur harus cukup banyak antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat dalam media baru. Subkultur sebaiknya dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu sekali). Namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus. Massa kalus ada 2 macam yaitu massa yang remah (friable) dan kompak. Bila massa kalus remah maka pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyedok kalus dengan spatula atau skapel lasung disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish steril untuk dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke media baru. Kalur yang sudah melai mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya tidak ikut disubkultur karena tidak akan tumbuh dengan baik.

5.4 Kultur Suspensi
Penggunaan medium cair mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan medium padat, antara lain pada medium padat kalus yang tumbuh akan mengalani gradient difusi terhadap nutrient di dalam medium dan gas di dalam kalus akan menyebabkan pertumbuhan dan metabolismenya mengalami perubahan. Agar itu sendiri akan melepas senyawa kimia ke dalam medium kultur dan kalus akan mensekresi sisa-sisa metabolisme ke dalam medium yang dapat meracuni pertumbuhan kalus itu sendiri. Pada medium cair keberadaan oxygen adalah terlarut dalam cairan medium, untuk memperolehnya maka medium harus digoyang (agitatic).
Kultur suspensi sel harus digerak-gerakkan (goyang) untuk memperoleh aerasi, untuk menggerakkan diperlukan alat penggoyang yang disebut dengan platform (orbital) shaker (shaker yang arah goyangannya horizontal). Kecepatan gerakan yang diperlukan dalam kultur suspensi sel untuk ukuran Erlenmeyer 250 cm3 adalah 100-120 rpm. Isi medium dalam botol kultur yang optimum adalah 20% dari volume botol kultur (Dodds & Robert, 1983).
Eksplan yang diperlukan dalam kultur suspensi sel biasanya berupa kalus remah. yang belum terdiferensiasi. Pembelahan sel akan terjadi secara bertahap dan sel anakannya akan bebas terlepas dari sel induknya karena adanya goyangan dari medium kultur, sehingga dalam kultur akan ditemukan sel tunggal, agregat selular (kluster sel) dalam berbagai ukuran, residu inokulum, sel-sel kultur yang mati. Kultur suspensi sel yang baik kualitasnya bila di dalam kultur tersebut sebagian besar berisi sel tunggal dan kluster sel yang berukuran kecil-kecil. Keadaan seperti ini dapat dikatakan kalus di dalam kultur bersifat remah. Kalus yang remah pada beberapa jenis eksplan dapat distimulasi dengan formula ZPT konsentrasi auxin yang lebih tinggi dibandingkan sitokinin, tetapi untuk jenis eksplan yang lain dapat saja menghambat terbentuknya kalus yang remah. Disini tidak ada prosedur standar yang baku untuk memproduksi kalus remah, jadi harus dilakukan coba-coba untuk jenis eksplan yang berbeda-beda (Dodds & Robert, 1983).

Suspensi Sel Untuk Memproduksi Produksi Senyawa Metabolik Sekunder
Kultur suspensi biasanya dimulai dari mesubkultur potongan kalus ke media cair, kecuali itu kultur suspensi juga dapat menggunakan potongan organ (seperti hiopokotil, kotiledon dan lain-lain) sebagai ekplan hanya saja teknik ini memerlukan waktu yang lebih lama. Pembelahan sel secara bertahap akan terlepas dari sel induk bebas bergerak di dalam inokulum karena adanya gerakan dari medium. Setelah bebera saat kultur akan tersusun atas: sel tunggal , kumpulan sel (agregate cellular) dengan ukuran yang bervariasi, sisa potongan eksplan dan sisa-sisa sel mati. Dalam kultur kalus dan suspensi sel dikenal istilah friabel yang maksudnya adalah sel-sel terpisah setelah mengalami pembelahan sel. Bentuk suspensi sel yang bagus adalah kultur yang persentasi kandungan sel tunggal dan kumpulan sel-sel kecilnya tinggi. Derajat pemisahan sel pada kultur telah dicirikan adanya sifat friabilitas dari sel tersebut, sifat tersebut dapat dimunculkan atau diinduksi dengan merubah komposisi unsur hara media. Seperti pada penambahan auxin dari pada sitokinin pada beberapa masalah dapat memacu produksi sel yang friabel. Namun sebaliknya ada beberapa kultur malah menjadi terhambat proses friabilitasnya. Jadi tidak ada prosedur standar yang dapat direkomendasikan untuk memulai kultur suspensi sel dari kalus, maka untuk memilih kondisi yang sesuai harus melakukan coba-coba (trial and error) (Dodds & Robert, 1982).

Untuk mengkultur kalus ke kultur suspensi, pertama kali dibutuhkan kalus seberat 2-3 g per 100 cm3. Pertumbuhan jumlah sel akan mengikuti pertambahan eksponensial dan linier dalan populasi sel. Lama-lama kecepatan pembelahan sel akan melambat dan akhirnya akan mencapai fase diam atau stationary. Agar sel tetap bisa tumbuh maka pada awal fase diam sel-sel harus disubkultur pada media yang baru. Setiap jenis tanaman akan mempunyai panjang waktu fase pertumbuhan dan fase diam yang berbeda-beda. Pada kebanyakan kultur suspensi kerapatan optimum akan tercapai pada umur 18-25 hari setelah tanam dan fase sel paling aktif pada umur 6-9 hari setelah tanam. Salah satu contoh dari kultur sel suspensi sel pada tanaman Acer pseudoplantanus mempunyai kerapatan sel kritis pada konsentrasi 9-15 x 103 sel/cm3.
Tanaman merupakan sumber bahan makanan bagi manusia,juga merupakan sumber berbagai macam bahan kimia seperti:
* Bahan obat-obatan ($ 8 milyar, 1989)
* Enzyme
* Minyak dan lemak
* Agrokimia (insektisida, herbisida)
* Karet
* Penyedap makanan (aroma, warna, rasa)
* Bahan kontrasepsi
* Pemanis alam, Zat pewarna
* Pengharum (minyak wangi)
Sebagian besar bahan kimia di atas (kecuali enzym) adalah merupakan senyawa metabolik sekunder yaitu senyawa yang diproduksi oleh tanaman tetapi tidak memiliki fungsi vital bagi metabolisme tanaman tersebut. Tujuan produksi senyawa metabolik sekunder ini bagi tanaman antara lain:
* Mengusir peredator
* Menyerang pollinator
* Melawan penyakit-penyakit infeksi
Senyawa metabolik sekunder tersebut bermanfaat bagi manusia dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan konsumsi, pengobatan, industri obat tradisional dan modern, industri agrokimia berupa pestisida dan insektisida, industri farmasi dan kosmetika dan lain-lain. Ekstraksi senyawa metabolik sekunder sebelumnya hanya dilakukan langsung dari bagian tanaman tersebut melalui budidaya maupun eksploitasi organ tanaman dan tumbuhan liar yang menghasilkan senyawa metabolik sekunder tersebut. Selain produksi dan ekstraksi langsung dari organ tanaman, senyawa metabolik sekunder yang diproduksi oleh jaringan tanaman dapat juga diproduksi secara in vitro dalam kondisi kultur yang mendukung (misalnya Verpoorte dkk. 1999, Adnane dkk. 2001, Kazufumi dkk. 2001). Tujuan produksi senyawa metabolik sekunder dalam kultur jaringan adalah untuk mendapatkan sel, kalus atau embrio somatik yang dapat memproduksi senyawa kimia tersebut dalam jumlah besar untuk kemudian mengekstrak senyawa kimia penting tersebut. Produksi senyawa metabolik sekunder secara in vitro menggunakan bioreaktor pada kultur sel secara besar-besaran merupakan salah satu cara yang digunakan oleh beberapa perusahaan industri untuk memproduksi beberapa senyawa kimia secara komersial (Verpoorate dkk. 1999)
Produksi senyawa metabolik sekunder melalui kultur jaringan ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Keuntungan produksinya melalui kultur jaringan dibandingkan dengan ekstraksi dari organ tanaman dan penanamannya di lapangan antara lain:
1. 1.Produksinya tidak tergantung pada lingkungan terutama musim sehingga produksinya bisa dilakukan setiap saat yang dapat menjamin kontinuitas produksi, kuantitas dan kualitasnya
2. 2.Produksi senyawa metabolik sekunder melalui kultur jaringan tidak membutuhkan tempat yang luas. Untuk produksi skala besar dalam dilakukan dalam suatu laboratorium dengan menggunakan bioreaktor.

5.5 Kultur Protoplasma
Istilah protoplasma pertama kali diperkenalkan oleh Hanstein pada tahun 1880, yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah sel tumbuhan yang telah dikupas bagian diding selnya atau sel tumbuhan telanjang tanpa dibungkus oleh dinding sel.

Isolasi protoplasma dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Metode mekanikal.
Isolasi protoplasma menggunakan metode ini dikenalkan pertama kali oleh Klercker pada tahun 1892. Isolasi protoplasma dilakukan dengan cara mengupas dinding sel menggunakan alat bedah mikro. Metode ini telah berhasil mengisolasi protoplasma dari daun Saintpaulia ionantha dan dikulturkan hingga tumbuh kalus. Kelebihan dari metode ini adalah bila sel yang digunakan mempunyai vakuola sel yang relatif besar sedangkan kelemahannya adalah: 1) Keberhasilannya rendah; 2) Pekerjaan yang membutuhkan tenaga banyak dan membosankan; 3) Viabilitas protoplasma rendah, karena seng terjadi kerusakan protoplasma selama proses pengupasan dinding sel.

2. Metode enzimatik
Isolasi protoplasma menggunakan bantuan enzim. Orang pertama yang melakukan metode ini adalah Cocking pada tahun 1960, ia mengisolasi protoplasma menggunakan enzim selulase. Enzim selulase diisolasi dari jamur Myrothecium verrucaria. Namun orang pertama yang menggunakan enzim komersial untuk mengisolasi protoplasma dan berhasil meregenerasikan adalah Takabe dan kawan-kawan pada tahun 1968.

Organ sebagai sumber protoplas
Protoplasma yang telah berhasil diisilasi berasal dari organ-organ seperti: daun, tangkai daun, pucuk, akar, buah, koleoptil, embrio dan mikrospora. Diantara organ tersebut sel yang paling mudah dan bagus untuk diisolasi protoplasmanya adalah berasal dari jaringan mesofil daun, karena:
1. Bentuk selnya relatif seragam.
2. Tdak perlu membunuh tanamannya.
3. Dinding sel mudah terkelupas oleh enzim.
Sumber protoplasma selain diperoleh dari organ tersebut di atas tetapi juga berasal dari kalus dan sel suspensi. Untuk sumber yang berasal kalus, paling baik berasal dari kalus yang remah (friable) dengan kandungan karbohidrat rendah sedangkan yang berasal sel suspensi, paling baik diambil pada fase pertumbuhan exponensial.Salah satu teknik kultur jaringan yang dewasa ini berkembang pesat adalah teknik kultur protoplasma. Bagian-bagaian sel tumbuhan, termasuk protoplasma, secara umum dijelaskan pada Gambar 49. Protoplasma ini dapat diisolasi dari sel dan kemudian dikulturkan secara in-vitro. .
Kultur protoplasma dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan seperti perbanyakan dan untuk memperoleh varietas baru. Teknik yang digunakan untuk memperoleh hibrida ini antara lain perlakuan protoplasma dengan mutagen dan manipulasi genetik ditingkat sel melalui fusi (penggabungan) dua protoplasma dari varietas atau spesies yang berbeda serta penggunaan protoplasma dalam rekayasa genetika ditingkat molekuler dengan teknik elektroporasi, mikro injeksi atau partikel bombardment. Jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan untuk kultur protoplasma ini bermacam-macam termasuk jaringan yang masih memiliki sel-sel parenchyma (dindingnya belum berlignin).
Biasanya jaringan tanaman diiris halus lalu diplasmolisis (sedikit) dalam larutan manitol untuk mengurangi daya tarik menarik (adhesi) sitoplasma dg dinding selnya. Setelah dimodifikasi, di dalam kultur protoplasma akan membentuk dinding sel kemudian membelah membentuk koloni sel seperti kalus (callus-like cells). Protoplasma memerlukan media tanam yang lebih kompleks untuk dapat bertahan hidup dan beregenerasi. Biasanya ditambahkan suatu osmotikum (misalnya sorbitol, manitol) ke dalam media awal sebelum dinding selnya terbentuk untuk mencegah plasmolisis.

Prosedur Kultur Protoplasma
Kultur ptotoplasma dilakukan melalui secara bertahap mulai dari persiapan eksplan dan isolasi protoplasma diikuti dengan penanaman. Mutasi protoplasma dapat dilakukan dengan menambahkan senaywa mutagen ke dalam media tanam atau dengan memperlakukan protoplasma dengan senyawa mutagen tersebut. Silangan somatik dilakukan dengan cara penggabungan dua buah protoplama segera setelah isolasi kemudian ditumbuhkan. Prosedur kultur protoplasma secaraa umum adalah sebagai berikut:

1. Persipan eksplan.
Jaringan tanaman yang digunakan untuk isolasi protoplasma ini beragam, umumnya jaringan yang lebih muda dan berasal dari tanaman yang mempunyai umur fisiologis muda, seperti pucuk muda (seperti dari kecambah, bibit, plantlet), pucuk adventif hasil pangkasan. Protoplasma dari sel jaringan tersebut lebih mudah diisolasi protoplasmanya karena dinding selnya masih sederhana dan hanya terdiri dari dinding sel primer saja dan jaringannya masih memiliki sel-sel parenchyma (dindingnya belum berlignin). Selain itu, ada juga yang menggunakan jaringan yang telah dewasa, namun media untuk isolasi protoplasma dari jaringan ini lebih kompleks karena dinding selnya telah berlignin, telah memiliki dinding sel primer dan dinding sel sekunder.

2. Sterilsasi eksplan.
Bagian tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan terlebih dahulu dicuci kemudian disterilakan, umumnya menggunakan sodium hypoklorit 1 – 2 % selama 10 – 30 menit tergantung jenis eksplan yang digunakan. Eksplan tersebut selanjutnya dicuci dengan air steril (3 – 4 kali) untuk mencuci sisa sodium hipoklorit pada eksplan.

3. Isolasi Protoplasma.
Isolasi protoplasma dilakukan dengan menggunakan enzym yang dapat mengahancurkan dinding sel. Enzym yang digunakan bervariasi jenis dan konsentrasinya tergantung kondisi fisologis eksplan, terutama umur jaringan yang erat kaitannya dengan komposisi dinding selnya. Berikut dikemukanan perbandingan antara dinding sel primer dan sekunder pada sel tumbuhan.
Tabel 13. Perbandingan komposisi dinding sel primer dan sekunder
Komponen Dinding sel primer Dinding sel sekunder
Polisakarida 90 % 60 - 85 %
cellulose 30 % 50 - 80 %
hemicellulose 30 % 5 - 30 %
pectin 30 % -
Protein 10 % -
Lignin - 15 - 35 %
______________________________________________________
Enzym yang digunakan untuk mengancurkan dinding sel tumbuhan umumnya ada 3 yaitu:
a. Cellulase untuk menghancurkan sellulose
b. Hemicellulase untuk menghancurkan hemisellulose
c. Pectinase untuk menghancurkan pektin.

Alat-alat yang digunakan untuk isolasi dan kultur ptotoplasma adalah sebagai berikut:
• Laminar air flow cabinet
• Centrifuge
• Inverted microscope
• Gyratory shaker
• Magnetic stirrer + hot plate
• pH meter
• Saringan stainless stell (lubang 60 - 70 mm)
• Bacterial filter
• Nalgene filter unit 0,22 mm
• Millex filter unit 0,45 mm
• Spet dan jarum
• Piset dg ujung runcing + pisau kultur
• Pipet 5 ml berujung lebar
• Pipet pastur 2 ml
• Petri dish
• Gelas beker
• Parafilm/plastic wrapp

Bahan- bahan yang digunakan untuk isolasi protoplasma adalah sebagai berikut:
• Eksplan dapat berupa: jaringan mesophyll daun, callus atau sell suspensi, akar, tuber, bintil akar, petal, pollen, endosperm, aleurone, coleoptil, radicula
• Ethanol 70 %
• Larutan isolasi protoplasma

4. Tahapan pengerjaan isolasi protoplasma (lihat Gambar 51, 52 dan 53)
a. Jaringan tanaman seperti daun tembakau disterilkan terlebih dahulu dengan cara merendamnya dalam alkohol 70% selama 30 detikm selanjutnya di rendam kedalam larutan pemutih (misalnya bayklin) 20% yang ditambah beberapa tetes Tween selama 15 menit. Selanjutnya daun tembakau tersebut dibilas menggunakan aquadest steril sebanyak tiga kali.
b. Jaringan tanaman steril, diiris halus dan dikupas eidermis serta dihilangkan urat daunnya dengan menggunakan mata skalpel runcing steril, untuk lebih memudahkan isolasi protoplasmanya.
Contoh campuran dan konsentrasi enzym yang digunakan untuk isolasi protoplasma beragam dan tergantung dari jenis jaringan yang digunakan sebagai eksplan, seperti:
1. Medium enzim untuk jaringan Akar
 2 % rhozyme
 2 % meicellase
 0,03 % macerozyme R10
2. Medium enzim untuk daun Serealia
 2 % cellulysin
 0,2 % macerozyme R10
 0,5 % hemicellullase
 11 % mannitol
3. Medium enzim untuk Daun Tembakau:
 0,5 % Onozuka R10 cellulase
 0,1 % Onozuka R10 macerozyme R10
 13,0 Mannitol
 pH 5,8

3. Untuk mengurangi daya tarik menarik (adhesi) antara sitoplasma dengan dinding selnya, Larutan enzim biasanya ditamhkan senyawa osmoticum. Senyawa osmoticum yang dapat digunakan antara lain:
 Mannitol
 Sorbitol
 Glukosa
 Fruktosa
 Galaktosa
 Sukrosa
4. Setelah dinding sel lepas, selanjutnya eksplan direndam ke dalam 20 ml larutan media preplasmolisis selama 1-8 jam. Medium preplasmolisis untuk setiap jenis eksplan berbeda, untuk tembakau medium preplasmolisis tersusun atas medium isolasi protoplasma ditambah 13% mannitol.

Komponen Medium Isolasi Protoplasma (MIP) adalah sebagai berikut:
o CaCl2.H2O 1480,0 mg/l
o KH2PO4 27,2 mgl
o KNO3 101,0 mg/l
o MgSO4.7H2O 246,0 mg/l
o CuSO4.5H2O 0,025 mg/l
o KI 0,16 mg/l
o pH 5,8
5. Eksplan dipindah larutam medium enzim (komposisi media ini juga berbeda-beda untuk setiap jenis eksplan yang digunakan) untuk daun tembakau komponennya dapat dilihat di atas. Eksplan dipindah ke tabung steril dan dituangi medium enzim sebanyak 10 ml, lalu tabung ditutup dengan aluminium foil steril dan diisolasi menggunakan parafilm atau plastik wrap. Tabung berisi eksplan tersebut digoyang pada shaker dengan kecepatan 40 rpm selama semalam atau 4-16 jam.

5. Pemurnian protoplasma
o Protoplasma dalam poin 5 disaring dengang filter steril, mess 63 µm, masukkan ke dalam gelas piala volume 250 ml menggunakan pipet pastuer.
o Medium pencuci (MIP ditambah + 10 %) sebanyak 3 ml ditambahkan ke dalam cawan petri yang berisi debris dari daun, digoyang perlahan dan kombinasikandengan protoplas/ campuran enzim dalam gelas piala vol. 250 ml.
o Protoplas yang diperoleh dicuci dengan medium pencuci dan saring. Protoplas yang masih tercampur dengan larutan enzim disentrifuge dengan kecepatan 50 x g selama 10 menit.
o Pelet diresuspensi dalam medium pengapung (medium flotasi) 10 ml ditambah medium pencuci 1 ml selanjutnya disentrifuge, protoplasma akan melayang-layang diantara medium flotasi (MIP + 20%) dan medium pencuci.
o Protoplasma yang melayang-layang dipindahkan ke dalam tabung ditambah 10 ml medium pencuci, selanjutnya disentrifuge maka protoplasma akan mengendap sebagai pelet.
o Supernatan dibuang dan pelet ditambah 10 ml medium pencuci dan diputar lagi.
o Supernatan dibuang sisakan suspensi protoplasma sebanyak 1 ml.
o Kerapatan suspensi protoplasma yang dikulturkan untuk setiap spesies tanaman berbeda-beda seperti tembakau suspensi protoplas kerapatannya 50.000 sel/ ml dan 25000 sel/ ml untuk protoplasma petunia, protoplasma tersebut dikulturkan dalam cawan petri steril..

6. Perhitungan konsentrasi dan test viabilitas protoplasma.
Uuntuk menghitung kerapatan dapat dihitung dengan bantuan haemocitometer: jumlah sel / grid x 10.000. Tes viabilitas protoplasma dilakukan dengan menggunakan senyawa flourescent seperti fluresein diacetate (FDA). Medium kultur diambil 25 tetes selanjutnya ditambah 1 tetes larutan pewarna FDA dan 1 tetes protoplasma suspensi tersebut agar protoplas tercat dengan baik, selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. Protoplasma yang mati berwarna merah dan yang viable tercat hijau.

7. Kultur protoplasma
Protoplasma yang hidup diambil dalam jumlah memadai (frekuensi protoplas viable 100 – 200 sel) selanjutnya ditanam pada media yang telah disediakan dan dikulturkan dan disimpan tempat gelap pada temperatur 28 oC selama semalam. Kultur proplasma dipindahkan pada cahaya rendah (10 – 20 µmol.detik-1m-2) dengan cahaya lampu putih yang dingin dan fotoperiode 16 jam, selama 2 hari. Kultur dipindahkan pada intensitas cahaya yang lebih tinggi (50 – 75 µmol.detik-1m-2).
Media yang digunakan untuk kultur protoplasma dapat berupa media media cair yang diletakkan dalam cawan petri kecil atau media padat media padat (dengan pemadat agarose). Media yang digunakan untuk kultur protoplasma jauh lebih kompleks dibandingkan dengan media untuk teknik kultur lainnya, karena protoplasma belum memiliki dinding sel sehingga perlu ditanam pada media awal yang diperkaya dengan osmotikum (misalnya sorbitol atau mannitol) untuk: menghindari plasmolisis.
Penanaman protoplama ke dalam media dilakukan dengan cara mencampur protoplama dengan larutan agarose. Campuran disedot dengan pipet pasteur steril kemudian diteteskan pada cawan petri steril (5 – 10 tetes per petri). Cawan petri ditutup dengan parafilm selanjutnya kultur diletakkan pada ruang kultur dengan suhu 25°C dan diberikan 16 jam penyinaran. Setiap 2 minggu ditambahkan media baru ke bagian tetesan protoplasma tersebut.


8. Teknik Kultur Protoplasma
Protoplasma yang telah dimurnikan biasanya dikulturkan dengan dalam medium agar semisolid dan liquid. Protoplasma sering dikulturkan dalam media liquid untuk meregenerasi dinding sel terlebih dahulu, sebelum dikulturkan ke media agar. Media semisolid agar, agar yang digunakan untuk kultur protoplasma adalah khusus: yaitu gel agar lunak, salah satunya agarose
Teknik media liquid biasanya digunakan pada fase awal kultur, karenas:
 Mudah larut dan diserap.
 Beberapa spesies, protoplasmanya tidak dapat membelah dalam media agar.
 Tekanan osmotik media direduksi secara efektif.
 Kerapatan sel-sel dapat direduksi setelah beberapa hari dikulturkan.
Kelemahan dari teknik ini tidak boleh diisolasi dari turunan koloni tunggal yang berasal dari sel induk satu. Teknik media liquid dapat dibedakan menjadi dua metode

1. Metode liquid tetes
Dengan menggunakan pipet ukuran 100-200 µl, suspensi protoplasma dalam media diteteskan pada cawan petri ukuran 60mx15m sebanyak 5-7 tetes. Cawan petri ditutup dan direkatkan dengan parafilm atau plastik wrap selanjutnya diinkubasikan. Setiap 5-7 hari tambahkan medium segar baru dengan cara meneteskan langsung pada tetesan suspensi protoplasma yang telah mengalami pertumbuhan. Metode ini biasanya baik untuk keperluan pengamatan dengan mikroskop. Kelemahan dari metode ini adalah tetesan-tetesan suspensi menyatu menjadi satu tetesan di pusat.


2. Metode tetes menggantung
Dengan menggunakan pipiet volume 40-100 µl, suspensi protoplasma diteteskan di dalam tutup cawan petri, selanjutnya cawan petri, ditutupdengan menggunakan tutup yang telah ditetesi suspensi protoplasma, sehingga tetesan suspensi tersebut akan menggantung di dalam tutup cawan petri tersebut.

9. Pembentukan Dinding Sel
Perkembangan protoplama diawali dengan regenerasi atau terbentuknya dinding sel diikuti terbentuknya koloni sel menyerupai kalus. Pada beberapa spesies, protoplasma membentuk kalus dan beregenerasi melalui organogenesis atau embryogenesis.

10. Regenerasi Protoplama
Regenerasi protoplasma membentuk koloni sel kemudian tanaman lebih sulit dibandingkan sengan teknik kultur jaringan jaringan lain. Salah satu teknik yang digunakan untuk merangsang regenerasinya adalah menggunakan sel-sel lain (sebagai perawat) sehingga tekniknya disebut dengan teknik “Nurse Culture”. Untuk kultur satu protoplasma, “nurse cells” diletakkan berdekatan dengan kultur protoplasmanya untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan protoplasma. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Muir dkk.
Tanaman yg dihasilkan dari kultur protoplasma bisa seragam atau bervariasi, disebut “protoclonal variation”. Apabila dalam penanaman protoplasma ditambahkan mutagen ke dalam media, maka hasil regenerasi akan berupa generasi baru.
Produksi tunas dapat dilakukan pada media cair, umumnya ke dalam media ditambahkan hormon pertumbuhan sitokinin (misalnya 0,5 mM BAP). Setelah tunas terbentuk cukup besar, tunas selanjutnya dalat diakarkan. Salah satu contoh media pengakatran protoplasma adalah 1/2 MS + 3-aminopyridine (untuk tembakau) atau picloran (untuk tebu). Plantlet yang cukup besar selanjutnya diaklimatisai kemudian ditanam di lapangan.

Silangan Somatik
Secara alamiah persilangan terjadi hanya persilangan sexual antar kerabat dekat dalam satu jenis (species). Persilangan sexual telah dipergunakan bertahun-tahun untuk perbaikan tanaman budidaya. Sayangnya persilangan sexual hanya terbatas pada kultivar-kultivar dalam satu spesies atau yang terbaik pada beberapa spesies liar yang mempunyai hubungan kekerabatan terdekat dengan tanaman budidaya. Adanya pembatas antar spesies tanaman maka persilangan seksual kurang berfungsi.
Peleburan sel (fusi sel) somatik dapat mengarah ke pembentukan sel hibrid viable yang dapat digunakan sebagai cara/ metode untuk menghilankan pembatas antar spesies yang terjadi pada persilangan seksual. Protoplasma tanaman merupakan ladang dari genetik sel somatik untuk perbaikan tanaman. Teknik produksi hibrid melalui fusi protoplasma yang telah diisolasi dari sel somatik (tubuh) secara in vitro dan berkembang menjadi heterokarion yang menjadi satu persilangan tanaman, dikenal sebagai Hybridisasi somatik. Prosedur ini termasik mengabaikan unsur sel dalam hibridisasi. Dalam persilangan somatik, inti dan sitoplasma dari kedua induk menyatu dalam sel silangan. Kadang-kadang genom inti dari berasal hanyadari satu induk yang melebur, tetapi kadang juga terjadi gen sitoplasmik (plastome) berasal dari kedua induk yang ada dalam proses peleburan, hal ini dikenal dengan cybrid (cytoplasmic hybrid).
Jadi teknik peleburan protoplasma dapat digunakan untuk menghilangkan pembatas dari incompatibilitas dan sebagai manipulasi genetik dari sel tanaman. Persilangan somatik bermanfaat untuk persilangan antar spesies yang berbeda takson dari tingkat marga sampai tingkat divisi, untuk menciptakan sel-sel dengan genetik baru, inti yang sebagus pada sitoplasmik yang tidak mungkin didapatkan dengan metode persilangan seksual..
Kegiatan persilangan somatik meliputi:
Peleburan protoplasma (fusi protoplasma)
Seleksi sel silangan
Identifikasi tanaman silangan.

Fusi Protoplasma
Peleburan protoplasma dari 2 genom yang berbeda dapat diperoleh baik secara spontan ataupun dengan teknik pemacuan peleburan.

Metode peleburan spontan
Peleburan protoplasma secara spontan biasanya terjadi karena membran protoplas yang sangat tipis dan lunak sehingga mudah sobek atau pecah yang dapat mengakibatkan peleburan protoplasma. Biasanya terjadi pada protoplasma yang diisolasi dari kalus. Perleburan protoplasma dengan teknik ini biasanya terjadi pada protoplasma yang mempunyai asal tanaman yang sama sehingga tidak bernilai untuk perbaikan tanaman.



Metode pemacuan peleburan
Untuk mencapai peleburan protoplasma diperlukan adanya agensia untuk memacu terjadinya peleburan protoplasma (dikenal sebagai fusagen) yang berbeda jenis tanamannya. Larutan fusagen contohnya:
Perlakuan dengan sodium nitrat: 5,5% sodium nitrat dalam larutan 10% sukrose dan kultur diinkubasikan dalam water bath bersuhu 35o C selama 5 menit selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 200 g selama 5 menit. Subernatan dibuang dan pelet disimpan dalam water bath bersuhu 35o C selama 30 menit. Pada beberapa saat protoplasma akan terjadi peleburan. Agregat ditiangkan secara hati-hati pada medium kultur yang telah ditambah 0,1% NaNO3. Teknik ini akan dihasilkan dengan frekuensi rendah bila asal protoplasmanya dari mesofil daun (Power dkk. (1970 dalam Chawla 2002).
Perlakuan ion calsium padas pH tinggi . Teknik ini telah digunakan pada protoplasma tembakau. Caranya protoplasma yang telah diisolasi ditambahkan larutan fusagen berupa 0,5 M mannitol yang berisi 0,05 M CaCl2.2H2O pada pH 10,5 selanjutnya disentrifuge dengan kecepatan 50 g selama 3 menit. Selanjutnya tabung sentrifuge disimpan dalam water bath bersuhu 37o C selama 40-50 menit hingga protoplasma melebur (Keller dan Melchers (1973 dalam Chawla 2002).
Perlakuan polyethelene glycol (PEG). Dari sekian banyak metode peleburan protoplasma, metode ini yang yang berhasil dengan baik untuk melebur protoplasma. Suspensi protoplasma dilarutkan dalam larutan PEG: 1 ml suspensi protoplasmadalam medium kultur dicampur dengan 1 ml 28-56% PEG (1500-6000 MW). Tabung digoyang selama 5 detik dan biarkan berhenti 10 menit. Selanjutnya suspensi protoplasma tersebut dipindahkan dari larutan PEG dengan cara mencucinya menggunakan medium kultur sebanyak 2 kali. Hasil peleburan protoplasma ini berupa pembentukan heterokarion dengan frekuensi yang tinggi, sedangkan kebanyakan tipe sel sitoplasmik dengan pembentukan hetekarion binukleat rendah (Kao dan Michayluk (1974 dalam Chawla 2002).

Perlakuan peleburan elektro (elektrofusion).
Protoplasma diletakkan di dalam sel kultur yang kecil dan berisi elektrode yang berbeda potensialnya, protoplasma diletakkan diantara barisan elektrode-elektrode. Selanjutnya protoplasma diberi shok gelombang pendek elektrik yang akan mengiduksi terjadinya peleburan protoplasma. Dalam metode ini ada dua tahapan prosedur yang dimulai dengan penggunaan AC dari intensitas rendah untuk suspensi protoplasma. Kolektor dielektroforetik diatur 1,5 V dan 1 MHz dan konduktivitas elektirk dari medium suspensi kurang dari 10-5 detik/cm efek sebuah elektroforesis dijalankan akan membuat masing-masing sel berbenturan sepanjang alur barisan elektrode (lihat gambar 5). Tahap kedua injeksi aliran listrik DC dengan intensitas tinggi (750-1000V/cm) dengan waktu yang sangat singkat yaitu 20-50 µdetik menyebabkan membran protoplasma robek dan akan menghasilkan peleburan yang selanjutnya membran akan mengalami reorganisasi. Teknik fusielektro sangat sederhana, cepat dan efisien. Sel-sel yang telah di fusikan secara eletronik tidak menunjukkan respon yang sitotoxit. Namun metode ini jarang digunakan.






Tabel 15. Jumlah kromosom dalam beberapa persilangan interspesifik dan intergenerik yang diproduksi melalui peleburan protoplasma.
No Jenis tanaman dengan jumlah kromosomnya Jumlah kromosom hasil persilangan
INTERSPESIFIK
1 Brassica oleracea (2n = 18) + B. campestris (2n = 18) Variasi luas
2 Nicotiana tabacum (2n = 48) + N. glutinosa (2n = 24) 50-58
3 Nicotiana tabacum (2n = 48) + N. nesophila (2n = 48) 96
4 Lycopersicon esculentum (2n = 24) + L. peruviarum (2n = 24) 72
5 Solanum tuberosum (2n = 24, 48) + S. chacoense (2n = 14)
60

INTERGENERIK
No Jenis tanaman dengan jumlah kromosomnya Marga (Genus) baru
6 Raphanus sativus (2n = 18) + B. oleracea (2n = 18) Raphanobrassica
7 Solanum tuberosum (2n = 24) + L. esculentum (2n = 24) Solanopersicon
Nicotiana tabacum (2n = 24) + L. esculentum (2n = 24) Nicotiopersicon

Tabel 16. Pemindahan sifat genetik melalui peleburan protoplasma.
No Persilangan somatik Sifat (resistan)
1 Nicotiana tabacum + N. nesophila Tobacco mosaic virus
2 Solanum tuberosum + S. brevidens Potato leaf roll virus
3 Brassica oleracea + B. napus Black rot (Xanthomonas campestris
4 Citrullus lanatus + Cucumis melo Club rot resistance
5 Hordeum vulgare + Daucus carota Toleran terhadap pembekuan dan garam
Meningkatkan kualitas Sifat
6 N. rustica + N. tabacum Kandungan nikotin tinggi
7 B. napus + Eruca sativa Erucic acid rendah


Sifat Agronomik (dipindah melalui pembentukan cybrid)
8 N. tabacum + N. sylvestris Resisten terhadap Streptomycin
9 B. nigra + B. napus Resisten terhadap Hygromycim
10 S. nigrum + S. tuberosum Resisten terhadap Triazine



5.6 Kultur Embrio
Pada program pemuliaan tanaman, biasanya dilakukan persilangan buatan antara tanaman induk (P) untuk menghasilkan hibrid baru. Persilangan buatan lebih mudah berhasil bila dilakukan antar tanaman dengan hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk memperoleh sifat-sifat yang diinginkan, seringkali penyilangan dilakukan dengan tanaman liar atau bahkan persilangan dengan varietas yang berbeda bila sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada kerabat dekatnya.
Penyerbukan dan pembuahan dapat berhasil namun setelah persilangan buatan seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm yang kecil atau terbentuk buah dengan embrio yang kecil dan lemah. Kondisi tersebut dapat menghambat program pemuliaan tanaman karena embrio muda, embrio dengan endosperm kecil atau embrio kecil dan lemah seringkali tidak dapat berkecambah secara normal dalam kondisi biasa.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka embrio tersebut dapat diselamatkan dan ditanam secara aseptis dalam media buatan sehingga dapat berkecambah dan menghasilkan tanaman utuh. Teknik untuk menanam embrio muda ini dikenal dengan sebutan penyelamatan embrio (embryo rescue).
Selain teknik penyelamatan embrio ini dikenal juga teknik kultur embrio (embryo culture), yaitu penanaman embrio dewasa pada media buatan secara aseptis. Aplikasi kultur embrio ini antara lain perbanyakan tanaman, pematahan dormansi untuk mempercepat program pemuliaan serta perbanyakan tanaman yang sulit berkecambah secara alami, misalnya anggrek.
Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara in-vitro dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap. Embrio culture adalah salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil, sejarahnya:
 Tahun 1904, seorang ilmuan bernama Hanning berhasil memperoleh tanaman sempurna dari embryo Cruciferae yang diisolaso secara in-vitro
 Tahun 1924 adalah saat pertama kali dilakukan penelitian untuk memcahkan masalah dormansi biji secara in-vitro pada embrio Linum
 Tahun 1933: Tuckey berhasil memperoleh tanaman dari immature embryo buah batu.

Penggolongan Kultur Embrio
Berdasarkan tujuan dan jenis embrio yang dikulurkan, kultur embrio digolongkan menjadi:

1. Kultur Embrio Muda (Immature Embryo Culture).
Tujuan mengkulturkan embrio muda ini adalah menanam embrio yang terdapat pada buah muda sebelum buah tersebut gugur (mencegah kerusakan embrio akibat buah gugur) sehingga teknik ini disebut sebagai Embryo Rescue (Penyelamatan Embrio). Kondisi seperti ini biasanya sering dijumpai pada buah hasil persilangan, dimana absisi buah kerap kali dijumpai setelah penyerbukan dan pembuahan. Contohnya adalah pada persilangan anggrek Vanda spathulata dimana absisi atau gugur buah pada saat buah masih muda yaitu setelah berumur 3 bulan setelah persilangan padahal buah anggrek Vanda spp. Akan mengalami masak penuh setelah berumur 6 bulan. Apabila buah ini tidak diselamatkan atau dipetik dan kemudian dikecambahkan maka tidak akan diperoleh buah hasil persilangan. Perkecambahan biji yang masih muda di lapangan sangat sulit bahkan pada beberapa kasus hampir tidak mungkin bisa terjadi. Oleh karena itu, buah yang belum tua (2 – 4 bulan) pada anggrek Vanda tersebut kemudian dipanen dan dikecambahkan secara in-vitro.
Budidaya embrio muda ini lebih sulit dibandingkan dengan budidaya embrio yang telah dewasa. Embrio yang terdapat dalam biji belum sepenuhnya berkembang dan belum membentuk radicula dan plumula yang sempurna. Selain itu, biji velum memiliki endosperm atau cadangan makanan yang memadai dalam mendukung perkembangan dan perkecambahan embrio. Oleh karena itu, perlu disediakan media kultur yang memadai bagi perkembangan embrio muda ini. Pada beberapa kasus kadangkala dijumpai embrio masih dorman sehingga perlu ditambahkan hormon tanaman yang bisa memecahkan dormansi biji ini, misalnya Giberellin.

2. Kultur Embryo Dewasa (Mature Embryo Culture)
Kultur embrio dewasa dilakukan dengan membudidayakan embrio yang telah dewasa. Embrio ini diambil dari buah yang telah masak penuh dengan tujuan merangsang perkecambahan dan menumbuhkan embrio tersebut secara in-vitro. Teknik kultur ini umumnya dikenal dengan sebutan Kultur Embrio (Embryo Culture). Kultur embrio lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan penyelamatan embrio. Hal ini disebabkan karena embrio yang ditanam adalah embrio yang telah berkembang sempurna sehingga media tanaman yang digunakan juga sangat sederhana.

2. Kultur Embrio Nonzigotik
Embrio nonzigotik dihasilkan dari kultur organ yang melalui fase pertumbuhan kalus. Dimulai dari pertumbuhan sel, sel-sel kemudian membentuk kalus dari kalus akan membentuk globular dan globular ini akan membentuk bangunan seperti torpedo dan akhirnya terbentuklah embrio nonzigotik. Embrio nonzigotik tumbuh dari sel tunggal, namun pembentukan tunasnya berasal dari massa sel. Perbedaan penting mengenai efisiensi teknologi genetik selama modifikasi sel embriogenik tunggal dapat secara nyata memodifikasi sifat tanaman dibandingkan yang harus melalui modifikasi genetik terlebih dahulu dari sebuah sel di dalam tunas, hal ini akan mengakibatkan terbentuknya tanaman chimera (Trigiano & Gray, 2004).



Gambar 45. Embrio nonzigotik dihasilkan dari kultur pollen atau protoplasma yang nyata berkembang dari sel tunggal (sumber: Taji, Kumar & Lakshmanan, 2002).

Aplikasi Praktis
Kedua teknik ini (embryo culture dan embryo rescue) dewasa ini dilakukan untuk berbagai tujuan, antara lain:



1. Mematahkan dormansi.
Beberapa spesies tanaman memiliki masa dormansi yang panjang, misalnya cherry, hazel nut, dll. Selain itu ada juga beberapa jenis tanaman yang bisa menghasilkan biji namun tidak dapat dikecambahkan secara normal di alam misalnya Musa balbislana. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka biji tanaman ini dapat
dikecambahkan secara in-vitro. Dormansi fisik dapat dipatahkan dengan cara mengisolasi embrio dari biji lalu mengecambahkannya, sedangkan dormansi fisiologis dapat dipecahkan dengan perlakuan kimia seperti penambahan giberellin (GA3) ke dalam media kultur.

2. Perkecambahan dari tanaman yang memerlukan bantuan parasit.
Tanaman anggrek merupakan salah satu contoh tanaman yang bijinya sangat sulit berkecambah di alam. Biji anggrek sangat kecil dan memiliki endosperm yang sangat miskin sehingga tidak bisa mendukung perkecambahan bijinya. Di alam, proses perkecambahan anggrek teresterrial (tanah) diawali dengan simbiosis antara biji anggrek dengan jamur (mycorrizha) dimana hifa jamur akan menembus kulit biji dan mensuplai makanan bagi biji anggrek. Tanpa simbiosa ini, biji anggrek tidak memperoleh cukup bahan makanan untuk perkecambahannya disebabkan karena endospermennya yang sangat kecil. Meskipun angrrek epiphyt tidak memerlukan simbiosa ini, namun biji anggrek epiphyt juga memiliki endosperm yang amat sangat kecil sehingga sulit berkecambah secara alamiah. Dengan teknik kultur jaringan (embryo culture), biji anggrek dikecambahkan secara in-vitro sehingga dewasa ini bisa diperoleh bibit anggrek dengan mudah. Produksi bibit anggrek dewasa ini merupakan industri yang berkembang sangat pesat dan menguntungkan. Teknik ini biasanya didahului dengan persilangan untuk memperoleh silangan-silangan. Dalam setahun, ribuan silangan baru anggrek bisa diperoleh. Masing-masing nursery biasanya memiliki pohon induk dengan keunggulan yang berbeda sehingga dihasilkan beragam varietas baru dengan bentuk dan warna bunga yang beragam.

3. Memperpendek siklus pemuliaan tanaman
Dormansi biji dapat mengambat program pemuliaan tanaman. Pemecahan dormansi dengan kultur embrio (embryo culture) merupakan salah satu upaya untuk mempercepat perkecambahan biji hasil pemuliaan tanaman sehingga bisa mempercepat proses pemuliaan tanaman.

4. Produksi tanaman haploid lewat penyelamatan embrio hasil persilangan antar jenis tertentu.
Salah satu cara yang dilakukan untuk memperoleh tanaman haploid adalah silangan antar spesies tertentu. Contohnya adalah persilangan antara Hordeum vulgare dengan H. bulbosum. Setelah penyilangan yang kemudian diikuti oleh pembuahan, kromosom H. bulbosum tereliminasi sehingga hanya kromosom H. bulbosum yang terekspresi, sehingga dapat dihasilkan biji haploid dari silangan ini. Sayangnya persilangan ini mengakibatkan embrio gugur (buah gugur) sebelum buah tersebut dewasa. Hasil silangan ini (buah haploid) tidak akan dapat diperoleh apabila buah muda tersebut tidak diselamatkan dengan cara memanennya sebelum gugur lalu mengecambahkan embrio muda (teknik embryo rescue) ini secara in-vitro.

5. Mencegah gugurnya buah (embrio) pada buah
Gugurnya buah sebelum buah tersebut dewasa sangat umum ditemukan pada persilangan. Berbegai macam faktor dapat menyebabkan buah tersebut gugur sebelum masak. Pada persilangan buah-buah batu, transportasi air dan hasil fotosintesa dari daun dan batang ke buah terhambat sehingga mengakibatkan terbentuknya lapisan absisi pada tangkai buah. Akibatnya buah tidak memperoleh nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya sehingga buah dengan embrio yang terbentuk gugur sebelum dewasa. Teknik embrio rescue umumnya dilakukan untuk menyelamatkan hasil silangan ini dengan cara memanen buah muda hasil persilangan sebelum buah gugur kemudian mengecambahkannya secara in-vitro.

6. Mencegah kehilangan biji setelah persilangan (interspesific)
Persilangan antar varietas tanaman dalam satu spesies seringkali menghasilkan buah dengan endosperm yang miskin atau embrio lemah dan berukuran kecil. Biji-biji dengan kondisi demikian seringkali sulit sekali atau tidak bisa dikecambahkan dalam kondisi normal. Teknik kultur embrio dapat digunakan untuk membantu perkecambahannya. Hal ini telah dilakukan pada tomat, padi, barley, kapas, phaseolus.

7. Perbanyakan vegetatif
Embrio dapat digunakan sebagai bahan dasar perbanyakan vegetatif seperti misalnya pada Poaceae dan paku-pakuan (menggunakan spora)

Teknik Dasar
Teknik embryo culture dan embryo rescue pada dasarnya melibatkan 3 tahapan, yaitu:


1. Sterilisasi Eksplan.
Embrio pada prinsipnya berada dalam keadaan steril. Hal ini disebabkan karena embrio berada di dalam buah (di dalam biji) terlindung oleh jaringan-jaringan buah dan biji yang berada di luar embrio, antara lain oleh kulit buah, daging buah dan kulit biji. Keadaan ini menyebabkan sterilisasi embrio tidak perlu dilakukan. Sterilisasi permukaan perlu dilakukan pada buah ataupun biji untuk mensterilkan permukaan buah/biji sehingga pada waktu isolasi embrio tidak terdapat sumber kontaminan. Karena embrio berada di dalam, sterilisasi dapat dilakukan dengan pembakaran buah/biji atau dengan sterilan kimia seperti sodium hypochlorite dengan konsentrasi cukup tinggi (>2 %).

2. Isolasi dan Penanaman Embrio
Seringkali masalah timbul saat isolasi embrio terutama untuk embrio berukuran kecil sehingga isolasinya harus dilakukan di bawah mikroskop. Untuk embrio berukuran besar, isolasi embrio tidak menjadi masalah. Isoalasi harus dilakukan secara hati-hati agar embrio tidak rusak dan kehilangan salah satu atau lebih bagian-bagiannya (radicula, plumula, hypocotil, coleoptyl, dll). Selain itu harus tetap dijaga juga agar isolasi dilakukan dalam kondisi tetap aseptis. Embrio yang telah diisolasi selanjutnya ditanam pada media yang telah dipersiapkan.


Gambar 48. Skema isolasi dan kultur embrio (sumber: Taji, Kumar & Lakshmanan, 2002)

Media untuk pengecambahan embrio cukup sederhana. Kebutuhan nutrsisi di dalam media untuk pengecambahan embrio juga lebih sederhana dibandingkan dengan media untuk tujuan teknik kultur yang lain. Pada prinsipnya media diperlukan untuk menggantikan peranan endosperm dalam mendukung perkecambahan embrio dan perkembangan bibit muda mengingat embrio yang ditanam umumnya telah memiliki radicula dan plumula. Media yang umum digunakan untuk pengecamahan embrio adalah media Knudson dan Vacin & Went (untuk anggrek), Media MS dalam ½ konsentrasi garam-garamnya. Dalam pengecambahan embrio dewasa umumnya vitamin tidak ditambahkan dalam media, namun sumber karbon tetap diperlukan meskipun dalam konsentrasi yang lebih rendah (umumnya 20 g/l). Akan tetapi, dalam pengecambahan emrio muda diperlukan media yang lebih kompleks. Perkembangan embrio muda perlu didukung pada awalnya sehingga radicula dan plumula dapat berkembang sempurna sebelum embrio ini berkecambah. Untuk itu, nutrisi yang lebih lengkap berserta vitamin seperti nicotinic acid, biotin, vitamin C, vitamin B perlu ditambahkan pada media kultur embrio muda ini.Hormon tanaman umumnya tidak ditambahkan dalam media kultur embrio karena penambahan hormon tanaman kemungkinan dapat merangsang terbentuknya kalus pada embrio (Lihat gambar 1). Kalus umumnya tidak diinginan pada kultur embrio mengingat tujuan kulturnya adalah untuk merangsang perkecambahan embrio. Pada beberapa kasus, terutama untuk embrio muda atau embrio yang mengalami dormansi, penambahan Giberellin dalam media kultur dapat dilakukan. Untuk pengecambahan embrio umumnya digunakan media padat sehingga agar pada konsentrasi 0,8 sampai 1,6 % ditambahkan ke dalam media. Media cair kadangkala diperlukan untuk pengecambahan, misalnya pada embrio kelapa. Kondisi pengecambahan ini memodifikasi kondisi alamiah perkecambahan buah kelapa dimana nutrisi tersedia dari endosperm yang cair yaitu berupa air kelapa. Apabila media cair digunakan untuk pengecambahan, umumnya kultur ditempatkan di atas shaker (alat penggojok) untuk menghindari kekurangan oksigen pada eksplan yang dpat menyebabkan eksplan mati.

3. Aklimatisasi
Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet yang siap untuk dipindahkan ke lapangan. Teknik aklimatisasi untuk plantlet hasil regenerasi kultur embrio pada prinsipnya sama dengan aklimatisasi plantlet hasil regenerasi dari teknik kultur jaringan lainnya. Hal ini telah dibahas pada bab sebelumnya (Mikropropagasi).

Contoh Aplikasi Komersial Kultur Embrio
Pengecambahan biji anggrek
Salah satu karakteristik khas dari biji anggrek adalah ukuran biji yang sangat kecil, terdiri atas sel-sel yang belum terdiferensiasi,dan memiliki endosperm yang sangat kecil sehingga tidak mampu untuk menyediakan nutrisi bagi perkecambahan bijinya. Di alam, biji anggrek bersimbiose dengan jamur untuk memperoleh nutrisi. Hypa jamur menembus dinding sel pada kulit biji dan menyediakan nutrisi bagi embrio anggrek untuk berkecambah. Salah satu jenis jamur penting yang bersimbiose dengan anggrek adalah jamur dari genus Rhizoctonia. Simbiose ini dijumpai pada anggrek teresterial bukan pada anggrek epiphyt.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, biji anggrek dikecambahkan secara in-vitro. Biji-biji anggrek epiphyt umumnya dapat berkecambah dengan pada media perkecambahan. Namun biji-biji anggrek teresterial tidak dapat berkecambah pada media sederhana tersebut. Biji-biji tersebut baru dapat berkecambah pada media yang ditambahkan jamur untuk simbiosanya.
Media yang digunakan untuk pengecambahan biji anggrek ini cukup sederhana, media tersebut telah diformulasikan dan dijual secara komersial. Media yang paling banyak digunakan adalah media Knudson "C" (1946), Vacin and Went (1949) dan Burgeff's-N3F (Thomale, 1957) (Tabel 2). Ke dalam media perkecambahan ini harus selalu ditambahkan karbohidrat (± 2 %) sebagai sumber energi bagi perkecambahan biji ini. Media dapat diperkaya dengan biotin, nicotinic acid, vitamin C. vitamin B, panthothenic acid atau pyridoxine. Selain itu, beberapa peneliti menambahkan campuran senyawa-senyawa organik kompleks seperti jus pisang, santan kelapa dan casein hydrolysate sebagai sumber vitamin dan juga zat pengatur tumbuh. Umumnya zat pengatur tumbuh tidak ditambahkan ke dalam media, karena penambahan zat pengatur tumbuh ini seringkali menghasilkan pertumbuhan yang tidak diinginkan misalnya terbentuknya kalus dan tunas-tunas adventif. Media ini umumnya dipadatkan dengan agar pada konsentrasi 7 gr/L, dan pH pada kisaran 5.6 - 5,8. Media yang telah dipersipkan dituang ke dalam botol-botol kultur dengn posisi miring untuk memberikan ruangan yang lebih luas bagi pengecambahan biji.
Tabel 12. Formula media standar bagi perkecambahan biji anggrek
Komponen Media Perkecambahan Biji (g/L)
Knudson 'C' Vacin & Went Burgeff's N3f
Kalsium nitrat 1,00 - 1,00
Kalsium fosfat - 0,20 -
Kalium fosfat 0,25 0,25 0,25
Kalium nitrat - 0,53 -
Kalium klorida - - 0,25
Magnesium Sulfat 0,25 0,25 0,25
Amonium Sulfat 0,50 0,50 0,25
Ferri Sulfat 0,03 - 0,02
Ferric tartrate - 0,03 -
Mangan Sulfat 0,01 0,01 -
Asam sitrat - - 0,09
Sucrose 20,00 20,00 -
Glukose - - 10,00
Fruktose - - 10,00
Agar 15,00 16,00 12,00


Prosedur pengecambahan biji anggrek ini tidak berbeda dengan teknik kultur jaringan secara umum. Eksplan yang digunakan adalah buah anggrek yang telah cukup tua tapi kulit buahnya belum pecah. Buah anggrek disterilkan dengan sodium hypochlorite 3 % atau dibakar sebentar. Buah anggrek ini sulit sekali basah, karena struktur permukaan kulit buahnya. Untuk mengatasinya biasanya sterilisasi dilakukan sambil menggoyang-goyangkan botol yang digunakan dan dalam larutan sterilan biasanya ditambahkan beberapa tetes pelekat (misalnya tween-20). Buah steril ini dibelah secara aseptis, di bagian dalam tampak biji-biji anggrek yang sangat kecil, berwarna putih seperti serbuk. Biji ini dikecambahkan dalam media secara aseptis. Pada anggrek teresterial, dalam media perkecambahan terlebih dahulu telah dikulturkan jamur simbiotiknya. Isolasi dan pengkulturan jamur ini harus dilakukan secara hati-hati dan dari kultur murni jamur simbiotik untuk menghindari kontaminasi dengan jamur lain dan bakteri. Biji yang telah dikecambahkan disimpan dalam ruang kultur. Kondisi terbaik untuk pengecambahan biji anggrek ini adalah penyinaran selama 12 -1 6 jam per hari dengan intensitas cahaya rendah (20 - 100 mm m-2 s-1) dan suhu 20 - 25°C.
Biji anggrek mulai membesar setelah dua minggu dikulturkan. Setelah 3 sampai 6 minggu, chlorophyl mulai terbentuk diikuti dengan perkecambahan biji. Kecambah berkembang menjadi plantlet muda dengan akar, batang dan daun setelah 6 bulan dikulturkan. Bibit muda ini menyerap nutrisi dan karbohidrat dalam media dengan sangat cepat. Selain itu, media menjadi asam karena akumulasi senyawa-senyawa fenolik dalam ruang kultur. Untuk mengatasinya, ditambahkan media baru dengan cara memasukkan media baru dengan jarum steril melalui botol kultur. Jika semua biji telah berkecambah dan bibit ini mulai membesar, botol menjadi terlalu penuh dan sesak sehingga ruang yang tersedia untuk pembesaran bibit terbatas. Untuk mengatasinya dilakukan penjarangan dengan mensubkulturkan bibit ke media dan botol-botol kultur lainnya. Plantlet membesar dan dapat dipindahkan ke lapangan setelah berumur 12 bulan .























BAB VI
IN-VITRO POLLINATION
Silangan Secara In-Vitro

Perkembangan Gametofit Betina
Dalam tumbuhan Angiosperm, gametofit betina di dalam kantong embrio memproduksi inti-inti dalam jumlah terbatas. Jumlah inti dalam gametofit dewasa berjumlah antara 4-16 buah inti, tetapi 80% dari tumbuhan berbunga mempunyai 8 inti. Beberapa tipe gametofit betina yang dikenal, antara lain:
1. Jumlah spora yang berperan dalam pertumbuhan.
2. Jumlah pembelahan mitosis setelah pembelahan meiosis dua kali.
3. Jumlah total nuklei pada pembelahan sempurna.
4. Organisasi seluler dari gametofit masak.
Kebanyakan tipe umum gametofit betina adalah delapan nukleat (tipe poligonum):
1. Sel telur bagian terpenting dan menonjol mempunyai struktur yang relatif seragam. Ini ini berada dalam ujung mikrofil dan diapit oleh dua inti synergid.
2. Sinergid tampak berperan aktif dalam pembuatan nutrisi bagi kantong embrio, menarik tabung pollen dan sebagai buffer osmotik untuk melepas isi tabung pollen.
3. Sel kutub (sel pusat binukleat) atau sel pusat garam organik berperan sebagai sel induk endosperm setelah fertilisasi.
4. Sel antipoda berjumlah tiga bertugas sebagai tempat melakukan metabolisme dan berperan dalam menyuplai nutrisi.

Penyerbukan (Polinasi)
Penyerbukan didefinisikan sebabkan peristiwa pemindahan atau jatuhnya pollen dari anther pada kepala putik (stigma) baik pada bunga yang sama atau bunga lain yang masih dalam satu spesies. Jika pollen sesuai (compatible), pollen akan berkecambah pada kepala putik dan membentuk sebuah tabung pollen yang akan membawa gamet jantan pada gametofit betina. Suatu senyawa protein tertentu pada awal pembentukan pollen yang disebut Lectin, terdapat di dalan exine dan intine. Lectin berperan penting dalam mekanisme mengenali antara putik-pollen. Namun bila pollen tidak sesui (incompatible), perkecambahan pollen akan terhambat atau pertumbuhan tabung pollen akan tertahan dalam jaringan pemindah. Ketidaksesuaian dapat diwujudkan dalam jaringan baik kepala putik maupun stylus pada berbagai fase sebelum pembuahan (fertilisasi). Karena adanya ketidaksesuaian antara pollen dan stigma maka pekerjaan pemuliaan tanaman adalah mengatasinya agar tetap bisa berlangsung fertilisasi, dengan mengembangkan beberapa metode, antara lain:
 Polinasi kuncup
 Polinasi tertunda
 Polinasi in vitro
 Polinasi intra ovari
Pemanjangan tabung pollen adalah tetap untuk setiap spesies. Ketika butir pollen siap dipencarkan, pollen ini dalam keadaan dormansi dengan kadar air antara 10-15% hampir mirip dengan biji. Pada Gramineae mempunyai umur pollen yang relatif pendek, misalnya pollen Paspalpum akan kehilangan viabilitasnya setelah 30 menit. Kebanyakan pada tanaman berbunga pollen akan mengalami penurunan secara drastis setelah 12 jam mengalami dehiscence. Namun viabilitas pollen dapat diperpanjang dalam keadaan artifisial yaitu bila disimpan pada temperatur dan kelembaban yang rendah. Pollen akan segera berkecambah setelah beberapa menit dilepas oleh anther, bila ketersediaan dari air, garam anorganik tertentu, termasuk boron dan sumber energi seperti sukrose cukup. Tabung pollen akan masuk ke dalam stigma melalui diantara sel-sel jaringan pemindah di dalam stylus dan akhirnya mencapai ovule. Waktu yang diperlukan pollen untuk mencapai ovule antara 12-24 jam. Waktu yang digunakan untuk proses tersebut setiap spesies tidak sama, seperti pada Taraxacum diperlukan 15 menit sedangkan pada pohon Quercus memerlikan waktu 14 bulan.

Pembuahan (Fertilization)
Pada tumbuhan Angiospermae, dua gamet jantan dibawa oleh tabung pollen untuk terjadinya proses fertilisasi. Satu gamet akan melebur dengan inti telur membentuk embrio dan yang lain melebur dengan dua inti kutub membentuk endosperm. Proses ini dikenal sebagai pembuahan ganda. Persilangan sexual sangat suatu cara yang potensial untuk memproduksi tanaman yang superior dengan mengkombinasikan sifat-sifat dalam individu yang berbeda atau spesies atau bahkan genera yang berbeda. Persilangan antar spesies atau takson di atasnya dapat dilakukan dengan salah satu teknik seperti artifisial polinasi dari induk betina dengan pollen dari induk jantan terseleksi.
Tujuan utama program pemuliaan tanaman sampai saat ini adalah untuk meningkatkan hasil (produktivitas) tanaman melalui perbaikan karakter-karakter tanaman dalam kondisi lingkungan pertanaman yang normal maupun cekaman lingkungan. Untuk mencapai tujuan di atas, pemulia menempuh langkah-langkah seleksi populasi, penggabungan karakter yang diinginkan melalui persilangan, perluasan variasi genetik melalui mutasi (bila karakter yang diinginkan tidak ada di alam), atau penyisipan gen untuk memproduksi tanaman transgenik. Langkah-langkah pemuliaan tersebut dapat ditempuh melalui persilangan konvensional maupun modern.
Pemuliaan tanaman secara konvensional telah menghasilkan banyak sekali varietas-varietas unggul, namun juga menghadapi berbagai kendala seperti waktu produksi yang panjang, adanya inkompatibilitas yang sering menyebabkan kegagalan persilangan serta adanya mekanisme dari tanaman sendiri (umumnya pada Angiospermae) untuk mencegah terjadinya self-pollination.
Kendala yang sering dihadapai dalam persialangan dalam pemindahan pollen viable dari satu induk ke stigma lain penerima tidak selalu dapat membentuk biji, antara lain disebabkan:
1. Sebelum pembuahan atau sebelum pembentukan zigot (Prefertilization atau prezygotic)
 Incompatibility antara serbuk sari dengan putik sehingga menghambat terjadinya pembuahan, yaitu:
 Terhambatnya perkecambahan pollen atau tabung pollen gagal mencapai ovule yang disebabkan stylus terlalu panjang atau pertumbuhan tabung pollen yang terlalu pelan sehingga tabung pollen baru mencapai dasar stylus sebelum benbkak (abcises)
 Tabung pollen pecah di dalam stylus..
 Biochemical incompatibility, yaitu tangkai putik mengeluarkan senyawa kimia tertentu sehingga pollen yang telah berkecambah tadi tidak bisa menembus tangkai putik (stylus) sehingga perkembangan tabung pollen terhenti sampai stylus
 Pertumbuhan tabung serbuk sari hanya mencapai microphyl.
2. Setelah terjadi pembuahan (Postfertilization)
 Terjadi fusi pada inti-inti gametnya sehingga mencegah pembuahan.
 Pembuahan terjadi tetapi embrio hibrid gagal berkembang hingga masak disebabkan adanya ketidaksesuaian antara embrio-endosperm atau pertumbuhan endosperm sangat miskin.
 Setelah terjadi pembuahan, perkembangan embryo terhambat
 Tidak terbentuk endosperm yang memadai
 Biji yang terbentuk terganggu proses penuaannya
 Biji yang dihasilkan viabilitasnya rendah (menghambat perkecambahan)
Kendala-kendala di atas seringkali menyebabkan kegagalan produksi hibrida. Kendala yang terjadi setelah pembuahan dapat diatasi dengan perkecambahan embrio (embryo culture dan embryo rescue) sedangkan kendala sebelum pembuahan dapat diatasi dengan salah satu teknik kultur jaringan yaitu “ In-vitro pollination atau pembuahan secara in-vitro”.

Prosedur Umum Pembuahan In-vitro
Prosedur pembuahan in-vitro pada Pisum sativum dan Nicotiana tabaccum adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan pollen
2. Pengujian viabilitas pollen
3. Pembuahan in-vito, ada dua teknik yaitu:
 Stigma fertilization
 Placenta fertilization


1. Pengumpulan/koleksi pollen (serbuk sari)
Tahapan pertumbuhan pollen sangat menentukan keberhasilan pembuahan, oleh karena itu harus dipilih benang sari yang telah berkembang penuh dan siap membuka (sesaat sebelum pollen disebarkan oleh benang sari). Benang sari ini diterilkan lalu didalam laminar air flow pollen tersebut dikumpulkan ke atas gelas mikroskop.

2. Test viabilitas pollen
Viabilitas pollen dapat diukur dengan cara menguji sebagian kecil pollen yang telah dikumpulkan. Caranya adalah mengkulturkan/mengecambahkan pollen tadi ke dalam media yang mengandung sucrose (10%), boric acid (0,01 %), CaCl2.2H2O dan agar (0,75 %). Obseervasi dilakukan dibawah mikroskop terhadap perkecambahan pollen.

3. Penyerbukan in vitro
Secara terminologi penyerbukan in vitro dibedakan menjadi 3 metode peyerbukan in-vitro:
1. Penyerbukan Kepala Putik (StigmaPollination)
Yaitu teknik penyerbukan dengan cara menaburkan serbuk sari langsung ke atas tangkai putik (stylus) dengan cara terlebih dahulu memotong kepala putiknya (stigma). Putik yang tidak memiliki stigma ini terlebih dahulu dikulturkan dalam botol kultur dengan media yang sesuai sebagaimana diperlihatkan pada gambar 17.
2. Penyerbukan Plasenta (Placental Pollination)
Yaitu teknik penyerbukan dengan cara menaburkan serbuk sari (pollen) langsung ke atas placenta (tali pusat) yang terdapat dalam badan buah (ovule) dengan cara terlebih dahulu memotong badan buah pada pistil sampai ovule sehingga placentanya terlihat, bagian ini dikulturkan dalam botol kultur baru kemudian dilakukan penyerbukan dengan meletakkan pollen langsung di atas placenta sebagaiman diperlihatkan pada gambar 18.
3. Penyerbukan bakal biji (Ovular Pollination)
Yaitu penyerbukan secara artifisial dengan cara menaburkan pollen pada langsung pada bakal biji (ovule) dengan cara mengeluarkan mengeluarkan ovule dari ovarium (bakal buah) terlebih dahulu.
Keberhasilan dari teknik polinasi in vitro sangat tergantung pada:
a. Eksplan butir pollen dan ovule pada fase perkembangan yang tepat
b. Pemilihan media yang tepat yang dapat memacu perkecambahan tabung pollen dan perkembangan embrio.

Beberapa aspek biologi pembungaan harus dikuasai, seperti:
 Anthesis
 Dehiscence anther
 Polinasi
 Perkecambahan pollen
 Pertumbuhan tabung pollen
 Penetrasi ovule
 Fertilisasi
 Perkembangan embrio dan endosperm.




Aplikasi fertilisasi in vitro
Teknik ini mempunyai manfaat untuk pemuliaan tanaman, antara lain seperti:
1. Produksi hibrid dari hasil silangan antar spesies, antar genera, antar familia, ordo, classis ataupun divisio.
2. Indusi tanaman haploid yang dapat dihasilkan dengan cara: polinasi tertunda, hibridisasi berjarak (hibrid antar spesies yang berbeda), polinasi dengan pollen abortif atau pollen yang telah diradiasi dan induksi haploid pada ovary dengan perlakuan fisik atau kimiawi.
3. Mengatasi ketidaksesuaian sexual self.
4. Untuk mempelajari fisiologi pollen dan Fertilisasi.

Hal-hal yang mendukung keberhasilan fertilisasi in vitro untuk menghasilkan biji yang viable, antara lain adalah:
1. Umur eksplan terutama ovule.
2. Perkecambahan pollen cukup
3. Tabung pollen dan gametogenesis pada pertumbuhan yang tepat.
4. Tabung pollen dapat masuk ke dalam ovule
5. Derajat fertilisasi
6. Penambahan casein hydrolysate 500 mg/l pada beberapa kasus dapat memacu pembentikan biji yang viable.




BAFTAR PUSTAKA

Chawla, H.S., 2004. Introduction to plant biotechnology. 2nd ed. Science publishers,Inc. New Hampshire .
Drew, R., M. Smith, J. Moisander & J. James, 1991. Plant tissue culture general principles and commercial applications. Queensland Department of Primary Industries. Brisbane. 31 p.
Dixon, R.A., 1985. Plant cell culture a practical approach. IRL Press Limited. England. 236 p.
Dodds, B., 1993. Plant tissue culture for horticulture. Queensland University of Technology Printing Unit Garden's Point Campus. Queensland. 80p.
Dodds, L.H., L.W. Roberts, 1982. Experiment in plant tissue culture. Cambridge University Press. London. 178 p.
Ganapathi, T.R., N.S. Higgs, P.J. Balint-Kurti, C.J. Arntzen, G.D May, and 7 J.M. Van Eck, 2001. Agrobacterium -mediated transformation of embryogenic cell suspensions of the banana cultivar Rasthali (AAB). Plant cell reports (2001) 20: 157-162.
George, E.F. & P.D. Sherrington. 1984 Plant propagation by tissue culture. Handbook and directory of commercial laboratories. Exegetics Ltd., Basingstoke, England. 546p.
Green, E.F. D.A. Somers, W.p. Hackett & D.P. Biesboer, 1987. Plant tissue and cell culture. Alan R. Liss, Inc. New York. 509 p.
Taji, A., P. Kumar and P. Lakshmanan, 2002. In vitro plant Breeding. The Haworth Press, Inc. New York.
Bhojwani & Razdan, 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practise.

Debergh & Zimmerman, 1990. Micropropagation: Technology & Application.
Dodds, L.H., L.W. Roberts, 1982. Experiment in plant tissue culture. Cambridge University Press. London. 178 p
Evan, Sharp, Amminoto & Yamada., 1983/1984. Handbook of Plant Cell Culture (Vols 1 – 4).
George, 1993. Plant Propagation by Tissue Culture: Part 1 The Technology, Exegetics, London.
Green, Somers, Hacket & Biesboer, 1987. Plant Tissue and Organ Culture.
Gunawan, L.W., 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kantharajah, A.S., -. Plant tissue culture and crop improvement laboratory manual. Indonesia Australia Eastern Universities Project. Universitas Mataram. Mataram.
Pierik, 1987. In vitro Culture of Higher Plants.
Taji, A., P. Kumar and P. Lakshmanan, 2002. In vitro plant Breeding. The Haworth Press, Inc. New York.
Thorpe, 1981. Plant Tissue Culture: Methods & Applications in Agriculture.
Torres, 1989. Tissue Culture techniques for Horticultural Crops.
Trigiano, R.N. & D.J. Gray, 2000. Plant Tissue culture concepts and laboratory exercises. 2nd Adt. CRC Press. New York.
Dixon, R.A., 1985. Plant cell culture a practical approach. IRL Press Limited. England. 236 p.